Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia yang terlupakan

Bulan Juni itu sering diingat sebagai bulan lahirnya tokoh-tokoh besar nasional Indonesia. Diawali dengan hari lahirnya Pancasila (1 Juni) kemudian disusul dengan hari lahirnya mantan presiden pertama Indonesia Soekarno (6 Juni), mantan presiden kedua HM.Soeharto (8 Juni), mantan presiden ketiga B.J Habibie (25 Juni), dan juga presiden ketujuh kita saat ini Joko Widodo (21 Juni). Wah, banyak banget yah tokoh besar nasional Indonesia yang lahir di bulan Juni? Eit, sebetulnya ada satu lagi tokoh besar Indonesia yang lahir di bulan Juni, sayangnya jarang banget generasi muda Indonesia yang tau tentang keberadaan maupun perjuangannya. Wah, siapa tuh??

Tokoh besar yang gue maksud ini gak main-main jasanya bagi negara kita, beliau ini bisa dikatakan sebagai orang yang pertama kali berjuang menentang antikolonialisme di Hindia Belanda, bahkan sebelum Soekarno dan Hatta. Beliau juga menjadi orang pertama yang mencetuskan konsep tentang "Negara Indonesia" dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925). Buku inilah yang menginspirasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari barisan yang lain. Sementara itu, tokoh besar yang terlupakan ini, berjuang "sendirian" untuk memerdekakan Indonesia dari mulai menulis buku, membentuk kesatuan massa, berbicara dalam kongres internasional, ikut bertempur di lapangan melawan Belanda secara langsung, sampai akhirnya harus keluar-masuk penjara berkali-kali, diburu oleh interpol, dan kejar-kejaran sama polisi Internasional.

Tragis? Banget! dan yang lebih tragis lagi adalah, perjuangan beliau untuk negeri kita ini malah "dibalas oleh Indonesia" dengan timah panas. Ya, beliau ditembak mati oleh tentara Republik yang didirikannya sendiri (Tentara Indonesia) di Kediri 1949 dan sampai hari ini jenazahnya belum dipastikan keberadaannya. Kendati Presiden Soekarno telah mengangkat namanya sebagai pahlawan nasional pada 28 Maret 1963. Namun, sejak era Orde Baru (1966-1998), keberadaan tokoh ini seperti dihapus dalam sejarah Indonesia, namanya dicoret dari daftar nama pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran Sejarah SD-SMA sampai dengan sekarang.

Penasaran siapa tokoh yang satu ini? Kenapa orang sepenting ini hampir tidak pernah disebut dalam pelajaran sejarah? Kenapa orang yang telah berjasa begitu besar bagi Indonesia malah meninggal di tangan tentara nasional Indonesia? Bagaimana kisah perjuangan dia? Okay, tokoh besar yang mau gue ceritakan ini bernama Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau lebih dikenal dengan nama Tan Malaka. Seorang luar biasa yang diberi julukan "Bapak Republik Indonesia" oleh Mohammad Yamin dan bahkan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai the true founding father of Indonesia.. dan pada artikel zeniusBLOG kali ini, gue akan mencoba "menghidupkan" kembali tokoh besar Indonesia yang selama ini telah terkubur dari ingatan masyarakat dan juga generasi muda Indonesia. Gue akan menceritakan kembali perjuangan panjangnya bagi negeri ini dari mulai Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, keliling pulau Jawa, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa (Moscow), Xiamen (Amoy), Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Yuk, simak kisah serunya!

 

Perjuangan Awal (1908 – 1919)

Pada awalnya Ibrahim adalah seorang pemuda desa di Pandan Gadang, Suliki, sekarang Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Seperti pemuda-pemuda asal Minangkabau lainnya pada waktu itu, ia tinggal di surau sejak usia 5 tahun dan mempelajari ilmu agama dan beladiri Pencak Silat. Ketika usianya 11 tahun, ia mendaftarkan diri ke Kweekschool, sekolah calon guru di Fort de Kock (sekarang bernama Kota Bukitinggi). Di sana, dia demen banget sama pelajaran Bahasa Belanda, dan lebih lanjut malah disuruh sama gurunya untuk jadi guru Bahasa Belanda.

Singkat kata, setelah 5 tahun ngeyam pendidikan di Kweekschool, orang-orang sekampungnya nganggep dia merupakan aset kampungnya yang harus di-support. Oleh karena itu, orang-orang di kampungnya, terutama kalangan “engku”/kakek-kakeknya, pada ngumpulin duit biar Ibrahim bisa lanjut sekolah di Negeri Belanda. Ia akhirnya diterima di Rijkskweekschool (Sekolah Kejuruan Guru Kerajaan/Negeri) di Kota Haarlem, Belanda. Naah, di Haarlem inilah, doi bisa belajar banyak soal filsafat ekonomi dan sosial yang pas itu emang lagi gila-gilanya berkembang di Eropa.

Arus perkembangan ekonomi dan sosial di Eropa ini disebabkan oleh arus panjang revolusi industri (1750-1850) yang dampaknya masih terasa di akhir abad 19 dan awal abad 20. Di satu sisi, perkembangan teknologi dunia berkembang sangat pesat, dari penemuan baterai, kapal uap, telegraf, telepon, mobil hingga pesawat terbang. Tapi, di sisi lain, dampak sosial yang terjadi sangat memprihatinkan: harga barang jatuh, usaha kecil menengah bangkrut, upah buruh sangat murah, adanya kesenjangan sosial antara pengusaha dan buruh, dsb.

Fenomena ekonomi dan sosial yang berkembang begitu cepat di Eropa ini yang membakar semangat Ibrahim (sekarang sudah bergelar Tan Malaka) untuk terus belajar kendati situasi keamanan di sana sangat rawan karena Perang Dunia I. Sementara itu, fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di Eropa, disambut dengan lahirnya pemikiran baru yang ditawarkan oleh para filsafat ekonomi dan politik, yaitu ideologi sosialisme dan komunisme yang menawarkan "keadilan" bagi para buruh dan kaum tertindas.

Ideologi itu semakin berkembang setelah kesuksesan Revolusi Bolshevik pada tahun 1917 di Rusia yang sangat menginspirasi gagasan komunisme. Hal itu membuat Tan Malaka semakin penasaran dengan gagasan komunisme dan melahap habis buku Karl Marx, Friedrich Engles, Vladimir Lenin, dll yang pada intinya menawarkan kesetaraan hak ekonomi bagi masyarakat. Lambat laun haluan ideologi Tan Malaka makin terbentuk ke arah ideologi sosialisme dan komunisme hingga dirinya sempet ketemu dengan Henk Sneevliet, tokoh komunis yang baru aja balik dari Hindia Belanda setelah mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Perkumpulan Sosial Demokrasi Hindia, cikal bakal Partai Komunis Indonesia.

Implementasi Perjuangan (1919 – 1922)

Setelah menyelesaikan studi di Belanda, Tan Malaka menjadi seorang guru Bahasa Melayu untuk anak-anak buruh perkembunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara. Pengalaman mengajar inilah yang menjadi inspirasi pertama Tan Malaka untuk memperjuangkan hak rakyat dari bentuk kolonialisme Belanda. Dari pengalaman mengajar inilah, Tan Malaka melihat secara langsung penderitaan kaum buruh perkembunan teh yang diupah rendah, sering ditipu karena buta huruf dan tidak lancar berhitung, diperas keringatnya habis-habisan di tanah mereka sendiri.

Berbekal dari semangat membela kaumnya ini, serta pengetahuan sosial politik yang dia pelajarin selama di Eropa, Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi ISDV. ISDV sendiri sebetulnya adalah organisasi bentukan para anggota partai buruh di negeri Belanda tahun 1914 yang bermukim di wilayah Hindia Belanda. Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.

Perkumpulan ISDV ini bisa dibilang cukup radikal dalam ngelawan "penindasan" dari kolonial Belanda sampe-sampe ngerekrut para tentara dan pelaut Belanda buat angkat senjata ngelawan para komandan mereka sendiri. Ujung-ujungnya pihak Belanda memenjarakan para "penghianat" tersebut, sampai para pentolan ISDV yang orang Belanda (termasuk Sneevliet) dipaksa pulang kembali ke negeri Belanda.

Ternyata, gerakan ISDV yang terang-terangan membela kaum tertindas ini nggak betul-betul mati sepenuhnya. Dalam proses bentrokan ISDV dengan pemerintah Belanda, ISDV sempat mengundang simpati para pemuda muslim di Sarekat Islam (selanjutnya disebut SI), yang pada saat itu dipimpin oleh Semaoen dari Surabaya dan Darsono dari Solo. Lambat laun, gerakan ISDV ini semakin beralih dari "LSM wong londo pembela hak pribumi" jadi didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH).

Sementara itu, Tan Malaka yang udah gemes banget melihat penderitaan para buruh, memutuskan pindah ke Jawa dan ikut berjuang bersama PKH hasil pentukan SI dengan ISDV. Di Semarang, Tan Malaka dipercaya untuk merintis Sekolah Rakjat untuk menjadi guru sekaligus kepala sekolah di Semarang. Ternyata, setelah bergabung dengan PKH, Tan Malaka nggak cuma sibuk ngajar mencerdaskan rakyat doang, tapi juga ikut berjuang di serikat pekerja/buruh di seluruh Jawa, dari serikat buruk tambang minyak, rel kereta, percetakan, dll.. semuanya diikuti oleh Tan Malaka agar hak para buruh dapat dibela oleh orang-orang terdidik.

Namun sayangnya, kolaborasi antara Sarekat Islam dengan PKH tidak berjalan harmonis karena banyak anggota SI (terutama H.Agus Salim) yang berpikir bahwa pandangan politik sosialis dan komunis tidak selaras dengan syariat Islam. Sementara itu, Tan Malaka sendiri berpendapat bahwa hal itu tidak perlu dipersoalkan. Tapi, ujung-ujungnya PKH tetap lepas sepenuhnya dari kepengurusan SI dalam keputusan Kongres Sarekat Islam VI 1921.

Setelah menjadi organisasi mandiri, PKH menunjuk Semaoen sebagai ketua. Dalam masa kepemimpinannya, Semaoen cenderung mengambil langkah hati-hati dan menghindarin konflik sama pemerintahan kolonial. Sementara itu Tan Malaka orang yang cenderung lebih gemes dan frontal dalam melawan Belanda. Sampai akhirnya, ketika Semaoen harus meninggalkan Nusantara untuk menghadiri konferensi buruh internasional di Moskow, Tan Malaka punya kesempatan untuk mengambil alih kepemimpinan PKH.

Gaya kepemimpinan Tan Malaka ini beda banget sama sama Semaoen, doi ngambil jalur radikal, bodo amat sama penilaian Belanda. Kalo bisa diibaratkan, Semaoen ini seperti Gandhi yang kalem, Tan Malaka ini seperti Che Guevara yang frontal. Malaka mimpin gerakan aksi demonstrasi para buruh dan pedagang kios pegadaian. Dari situlah, Tan Malaka berhasil mengambil kepercayaan masyarakat, terutama kaum pekerja, bahwa PKH adalah mitra sejati kaum pekerja dan bersedia untuk membantu melawan penindasan terhadap pekerja.

Lama kelamaan, pemerintah kolonial Belanda gerah juga sama satu tokoh yang udah bikin situasi bisnis mereka kacau di mana-mana, sampai akhirnya Tan Malaka ditangkep polisi Belanda. Kemudian, atas perintah Gubernur Jenderal Dirk Fock, Tan Malaka diasingkan ke Belanda biar ngga bisa mimpin pemberontakan lagi. Di situ, pemerintah Belanda bisa sedikit bernafas lega karena satu biang kerok sumber masalah berhasil "dibuang" jauh-jauh ribuan kilometer dari Hindia Belanda.

Perjuangan Dalam Masa Pengasingan (1922 – 1942)

Biasanya orang tuh ya, kalo udah ditangkep polisi, digebukin, sampai diasingkan, mbok ya harusnya kapok. Tapi, buat Malaka, sih, ga ada ceritanya dia kapok berjuang untuk rakyat Hindia Belanda. Di dalam pengasingan, Malaka malah join sama Communistische Partij Nederland (CPN) atau Partai Komunis Belanda. Lebih gawatnya lagi, saking cerdasnya Tan Malaka, dia juga kepilih jadi kandidat ke tiga untuk duduk di parlemen Belanda dari partai ini! Mantap! Bahkan sebetulnya, suara buat Malaka jauh ngelebihin kandidat nomer dua CPN. Sayangnya, karena umurnya masih muda banget (25 tahun), dia ngga bisa jadi anggota DPR-nya Belanda.

Selain radikal, Tan Malaka juga bisa kita bilang ngga bisa diem. Gagal jadi anggota parlemen di Belanda, dia pindah ke Berlin ketika ide komunisme sedang sangat berkembang pasca Perang Dunia I yang berhasil ngegulingin kekuasaan Kaisar Wilhelm II. di Berlin, Tan Malaka ketemu dan gabung lagi sama rekan seperjuangannya, yaitu Darsono (yoi! Darsono dari Solo pentolan Sarekat Islam), yang pada waktu itu jadi perwakilan COMINTERN (Communist International) di kota itu.

Setelah ketemu lagi sama Darsono, Tan Malaka ikut bergabung menjadi anggota Comintern dan pindah ke Moscow Rusia untuk berfokus mengurus negara-negara Timur termasuk Hindia Belanda. Pada Kongres Internasional Comintern ke empat tahun 1922, Tan Malaka bikin kaget para pemimpin-pemimpin komunis dunia, termasuk Lenin dan Trotsky, karena pendapatnya yang nyebutin bahwa Comintern bisa kerjasama dengan negara-negara Islam untuk membela kaum tertindas. Namun, gagasan itu tidak sampai direalisasikan. Berikut kutipan langsung pendapat Malaka di kongres tersebut:

“Bersandingan dengan Bulan Sabit, Bintang Soviet akan menjadi panji perang akbar untuk kira-kira 250 juta Muslim yang ada di Sahara, Arabia, Hindustan, dan Hindia Kami (Indonesia maksudnya).”

Berikutnya, Tan Malaka ditugaskan menjadi agen Comintern di Asia Tenggara dan bermarkas di Kanton, Tiongkok. Di sanalah, Tan Malaka menyusun sebuah gagasan masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau "Menuju Republik Indonesia". Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.

Buku ini berisi analisis Malaka terhadap kancah politik dunia pada saat itu, dan juga gagasan awal bagaimana sih perjuangan menuju negara bernama Indonesia itu direalisasikan. Selain itu, di buku ini Tan Malaka juga berhasil menganalisa sekaligus meramalkan dengan tepat bahwa ga lama lagi persaingan kekuatan ekonomi Jepang dan Amerika bakal berujung ke meletusnya perang di Pasifik, dimana situasi kekacauan itu bisa jadi kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan revolusi untuk melawan Belanda. Buku inilah yang pertama kali menginspirasi kaum cendekiawan muda di tanah air maupun Belanda (Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Nasution, dkk) untuk ikut merealisasikan gagasan negara Indonesia ini menjadi kenyataan. Enam belas tahun setelah buku ini dicetak, analisa Tan Malaka terjadi. Beneran meletus tuh Perang Pasifik dalam rangkaian Perang Dunia II, sekaligus menjadi peluang bagi Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah PKI dihancurkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926, Tan Malaka ngediriin Partai Republik Indonesia di Manila. Dia ngejalanin partai ini dari jauh, dan mendirikan perwakilan di berbagai daerah di Indonesia dengan bantuan rekan-rekan mantan anggota PKI. Setelah puluhan tahun ngungsi, dipenjara-penjarain, dibuang dari satu negara ke negara lain, Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk diem-diem balik ke Indonesia dengan naik perahu kecil secara rahasia nyeberang Selat Malaka, dan setelah nyampe di Jakarta, Tan Malaka menyamar sembari kerja jadi pegawai dinas kesejahteraan sosial.

Kembali ke Indonesia dan Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan (1942 – 1949)

Walaupun Belanda udah diusir oleh Jepang, tapi Tan Malaka masih menyembunyikan jati dirinya sampai Bung Karno, dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Selama masa persembunyiannya itulah, Tan Malaka menulis karya terbesarnya yang berjudul “MADILOG (Materialisme-dialektika-logika)” -- sebuah buku yang isinya argumen dia tentang pentingnya pola pikir analitik dalam mencapai sebuah kesimpulan yang valid. Buku ini ditulis karena Tan Malaka ngeliat kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia (yang pada masa itu) cenderung belum terbiasa berpikir kritis, seringkali tidak logis dan rasional, serta belum mampu berdialog secara sehat. Kurang gokil gimana lagi coba, doi?!

Setelah Jepang nyerah dari sekutu dan Indonesia memerdekakan diri, Malaka baru deh, merasa aman untuk munculin identitas aslinya ke muka umum. Langkah pertamanya sehabis Proklamasi dibacakan oleh Sukarno adalah tur keliling Jawa dan memberitakan "kabar gembira" tentang kemerdekaan sekaligus membakar semangat rakyat untuk betul-betul mempertahankan kemerdekaan sampai status ini diakui secara internasional.

Pada saat keliling Pulau Jawa ini, Tan Malaka melihat sendiri bahwa ternyata rakyat menyambut kemerdekaan ini dengan semangat yang luar biasa untuk mempertahankan tanah airnya, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa. Namun di sisi lain, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara baru ini (Bung Karno, Hatta, Sjahrir) cenderung "lembek" dan terus mau disetir oleh orang Barat, supaya negara ini mendapat pengakuan oleh masyarakat internasional. Tan Malaka berpendapat, bahwa kemerdekaan ini sudah diraih sepenuhnya, dan kita tidak perlu lagi melakukan jalur perundingan apa-apa lagi, karena nanti khawatirnya, isi perjanjian tersebut akan merugikan Bangsa Indonesia di kemudian hari.

Dalam ujung tur keliling Jawa tersebut, Tan Malaka juga sempat bergabung dengan perjuangan rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang mengusir tentara Belanda (Allied Force for Netherland East Indies- AFNEI) yang dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby dalam upaya mencoba lagi menyusup ke Indonesia

Setelah memenangkan peperangan di Surabaya, pada bulan Desember 1945 Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total terhadap para penjajah Barat yang akhirnya jadi sebuah perkumpulan yang dinamain “Persatuan Perjuangan” (PP). Perkumpulan ini adalah sebuah manifesto dari kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung untuk menempuh jalur perundingan buat dapetin pengakuan internasional. Ternyata dukungan dari perkumpulan PP ini buanyak banget, lho. Dalam waktu seminggu, udah ada ratusan organisasi gabung ke PP ini. Di sisi lain, pembentukan PP ini juga didukung kuat oleh Jenderal Sudirman, yang lagi sibuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan sekutu di Jawa Tengah.

Ironisnya, pendirian kelompok yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan inilah yang nantinya membuat Tan Malaka nantinya terbunuh oleh tentara Indonesia sendiri. Walaupun punya banyak dukungan dari rakyat, kepentingan para elit politik di Jakarta untuk meminimalisir konflik dengan pihak Barat terus mengintervensi "perjuangan lapangan" yang dilakukan oleh Tan Malaka. Pada puncak perjuangannya pada pertengahan tahun 1946, para pemimpin PP pada ditangkepin sama pemerintahan Sutan Sjahrir karena dianggap pembangkang yang bandel dan gak mau nurut sama pemerintah pusat.

Kekih deh Tan Malaka. Ngenesnya lagi, ternyata PKI sebagai partai yang dulu dia bela mati-matian sampe harus ngungsi ke banyak negara, malah bersikap pro sama Sjahrir. Tapi dasar emang Tan Malaka, sewaktu bebas dia berjuang di lapangan, kalo dipenjara itu saatnya untuk bikin buku bagus. Pada saat dipenjara sama Sjahrir inilah doi bikin beberapa buku mahsyur yang dikasi judul “Rentjana Ekonomi”, “Theses”, dan “Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK)”.

Ketika dibebasin dari penjara sama Pemerintahan Amir Sjarifuddin (yang emang orang PKI), Tan Malaka langsung melihat kenyataan bahwa kekhawatiran dia selama ini yang menentang jalur perundingan ternyata kejadian juga melalui perjanjian Renville, yang isinya sebagai berikut:

  1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Inilah yang bikin Tan Malaka jengkel, dan pembuktian bahwa jalur diplomasi pada masa awal kemerdekaan Indonesia itu adalah tindakan yang keliru karena kita bisa dimain-mainin sama Belanda yang udah jauh lebih punya pengaruh di dunia Internasional.

"Tuh kan gua bilang juga apa!! Ngapain sih harus berunding-berunding lagi segala, wong kita udah merdeka, ngapain harus berunding? Kalo berunding lagi bisa jadi kita nggak merdeka 100%!"

Itulah kira-kira isi hati Tan Malaka pada saat itu. Menanggapi isi perjanjian itu, Tan Malaka banyak banget membentuk gerakan masyarakat untuk menghimpun kekuatan massa yang menentang perjanjian Renville dan merebut kembali keutuhan wilayah Indonesia dari Sabang--Merauke dari mulai ngebentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), PARI, sampai Murba (Partai Musyawarah Rakyat Banyak).

Dalam situasi ini, Tan Malaka lagi-lagi dianggap sebagai "pembuat onar", namun kali ini bukan oleh Belanda, tapi oleh pemerintah Indonesia sendiri. Walaupun mulai dicap buruk oleh pemerintah pusat, Tan Malaka tetap bandel dan malah menghimpun kekuatan di Jawa Timur untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II, yang akhirnya pecah bulan Desember 1948.

Dalam situasi genting seperti itu, Presiden Soekarno membekukan pemerintahan Republik dan menggantinya jadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dengan pusatnya di Bukittinggi. Situasi ini semakin kacau dan mencekam bagi seluruh rakyat Indonesia yang terancam kehilangan identitasnya serta negara yang baru saja ingin dibangun. Dalam kondisi Indonesia yang antara ada dan tiada seperti itu, Tan Malaka ngomong di radio dari daerah Kediri, untuk tetap melanjutkan perjuangan dengan cara:

  1. Tidak mengakui Perjanjian Linggarjati dan Renville.
  2. Menghancurkan negara boneka bentukan Belanda.
  3. Mengambil alih semua wilayah Indonesia yang masih dikuasai oleh Belanda.
  4. Mengambil alih semua aset Belanda dan Eropa lainnya.
  5. Mengembalikan harga diri rakyat Indonesia.
  6. Mengabaikan seluruh ajakan perundingan.
  7. Tidak menyetujui perjanjian apapun yang tidak menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
  8. Menyatukan seluruh partai dan badan keamanan rakyat.

Himbauan inilah yang membakar semangat rakyat tapi juga sekaligus menyebabkan Tan Malaka dianggap sebagai pemberontak yang dianggap berbahaya oleh pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta. Sejak saat itulah Tan Malaka diburu oleh tentara negara yang dia bela mati-matian selama 30 tahun terakhir, sampai akhirnya terbunuh oleh tentara nasional Indonesia di Kediri Jawa Timur pada tanggal 19 Februari 1949 dan jenazahnya tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang. (ada yang menyebutkan Tan Malaka dikubur secara rahasia, ada versi lain yang menyebutkan mayatnya dihanyutkan di Kali Brantas).

Warisan Bagi Rakyat Indonesia

Sebagaimana setiap negara besar memiliki founding father, seperti katakanlah Amerika memiliki George Washington, Thomas Jefferson dan Benjamin Franklin. India punya M.K Gandhi dan Jawaharlal Nehru, Filipina punya Benigno Aquino dan Jose Rizal, Pakistan punya Muhammad Ali Jinnah, dan juga bangsa-bangsa lainnya. Kita bangsa Indonesia juga punya founding father, antara lain Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Subardjo, Radjiman Wediodiningrat, dan juga Tan Malaka.

Empat belas tahun setelah kematiannya, tepatnya pada 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat nama Tan Malaka sebagai pahlawan nasional Indonesia. Namun 3 tahun kemudian, setelah Soekarno turun dari jabatan presiden (1966) dan digantikan oleh era Orde Baru. Nama Tan Malaka kembali disembunyikan dari sejarah Indonesia, dan bahkantidak pernah disebutkan dalam daftar nama-nama pahlawan nasional di sekolah seluruh penjuru Indonesia selama puluhan tahun bahkan mungkin sampai sekarang. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan keterlibatan Tan Malaka yang sangat kental dengan gerakan kiri, sosialis, atau komunis yang menjadi musuh besar pada era pemerintahan Orde Baru.

Mungkin lo semua mencoba menalar, apakah Soekarno, Hatta, Sjahrir, terlalu lembek menghadapi tekanan negara lain? Ataukah justru Tan Malaka yang terlalu sembrono dalam bertindak? Apakah Tan Malaka salah mengambil langkah dalam paham ideologi politik sosial-komunis? Bagi kita yang hidup di tahun 2015 dan mencoba melihat kembali ke belakang, mungkin akan sulit untuk meraba-raba mana yang lebih benar di antara mereka. Memang tidak selamanya Soekarno sejalan dengan Hatta, dengan Sjahrir, dan juga dengan Tan Malaka. Mereka semua, para pendiri negeri ini, memiliki pertimbangannya sendiri-sendiri dalam mengambil keputusan saat menghadapi kemelut situasi pada masa itu. Terlepas dari itu semua, setiap perjuangan mereka patut kita hormati, karena bagaimana pun mereka semua adalah founding father of Indonesia yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengantarkan seluruh rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.

Semoga artikel ini, dapat kembali mengingatkan kita semua pada para pendiri negeri kita ini, khususnya untuk Tan Malaka yang paling sering dilupakan. Selamat ulang tahun ke-118 Tan Malaka (2 Juni 2015), semoga generasi Indonesia ke depannya dapat mewujudkan impian beliau untuk membangun masyarakat yang berpikir secara kritis, logis, rasional, dan mampu berdialog secara sehat. Merdeka!

"Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Indonesia tempat darahmu tertumpah" - Tan Malaka, Massa Aksi (1927)

Sumber : https://www.zenius.net/blog/7968/biografi-tan-malaka

Share this

Nama saya Ivqon, tepatnya Ivqonnada Al Mufarrih. Udah gitu doank.

Related Posts

Previous
Next Post »