Tampilkan postingan dengan label Biography. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biography. Tampilkan semua postingan

Gandhi: Bapak Anti-Kekerasan yang Menginspirasi Dunia

Abad 20 memang sudah berlalu 15 tahun yang lalu, tapi sejarah yang ditinggalkan masih sangat berpengaruh hingga saat ini. Kalo sekarang kita merefleksi apa sih kejadian luar biasa yang dialami umat manusia pada abad 20? Menurut gua pribadi, salah satu hal yang paling pantas dikenang dan menandai sejarah abad 20 adalah perjuangan anti-kolonial di berbagai belahan dunia yang melahirkan banyak negara baru yang merdeka hingga membentuk peta dunia seperti yang kita kenal saat ini. Pada abad 20 yang lalu, memang ada buanyak banget negara yang mendeklarasikan kemerdekaan dengan melepaskan diri dari bentuk kolonisasi negara-negara Eropa, terutama dari negara-negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, dan masih banyak lagi. (selengkapnya lihat di sini)

Dari semua drama perjuangan melawan kolonialisme pada abad 20, ada satu kisah yang sangat terkenal dan begitu mempengaruhi perjuangan serupa di berbagai tempat lain maupun pada masa mendatang. Kisah perjuangan besar ini dimotori oleh seorang tokoh yang dianggap sebagai salah satu orang terpenting abad 20 (versi majalah Times), 5x masuk nominasi peraih Nobel Perdamaian, dan ulang tahunnya hari ini (2 Oktober) diperingati oleh PBB sebagai International Day of Non-Violence. Siapa sih sosok yang dimaksud?

Sosok yang gua maksud adalah Mohandas Karamchand Gandhi, atau lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi. Seorang Bapak Bangsa India yang sekaligus menjadi icon dan simbol terpenting abad 20 dalam gerakan anti-kekerasan di seluruh dunia. Proses perjuangan Gandhi selama hidupnya ini bahkan menginspirasi tokoh besar lain untuk mengikuti gerakan serupa di berbagai belahan dunia, beberapa di antaranya adalah Nelson Mandela (Bapak Bangsa Afrika Selatan), dan Martin Luther King Jr (pejuang hak sipil Amerika).

Memangnya gimana sih kisah perjuangan Gandhi yang disebut-sebut sebagai salah satu sosok terpenting abad 20? Apa sih yang dia lakukan sehingga bisa begitu menginspirasi banyak tokoh besar dunia yang lain? Nah, untuk memperingati Hari Anti-Kekerasan Sedunia hari ini, blog zenius akan mengulas secara garis besar kisah hidup dan perjuangan dari Mahatma Gandhi. Tentu mustahil buat gue untuk merangkum seluruh karya perjuangan Gandhi seumur hidupnya hanya dalam sebuah artikel. Jadi harap dimaklumi jika ada banyak kisah menarik dalam hidupnya yang terlewatkan, tapi moga-moga ulasan singkat ini bisa menginspirasi dan menambah wawawan lo tentang sejarah dan pengetahuan sosial politik dunia abad 20, khususnya ideologi perjuangan Gandhi dalam menyelesaikan masalah tanpa jalan kekerasan.

Kehidupan Masa Kecil-Remaja Gandhi

Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 sebagai seorang putera perdana menteri dari negara bagian British-India bernama Porbandar, sebuah kota di pesisir pantai yang sekarang dikenal dengan nama Gujarat, India Barat. Sebagai seorang putera politisi senior (Kamarchand Gandhi) yang berasal dari kasta pedagang, Gandhi tumbuh di keluarga yang serba berkecukupan dengan lingkungan tradisi agama Hindu yang sangat kuat.

Pada tahun 1879, Gandhi (10 tahun) memulai dunia akademisnya dengan masuk sekolah daerah di Rajkot, hingga setahun kemudian Gandhi berhasil masuk Kathiawar High School yang juga berlokasi di Rajkot. Dalam prestasi akademis, Gandhi bisa dibilang gak terlalu menonjol secara istimewa. Kebanyakan nilai akademisnya biasa-biasa saja, bahkan dalam beberapa mata pelajaran dia bisa dibilang lumayan payah. Ini bukan maksudnya gua bicara lancang tentang Gandhi ye, tapi emang doi sendiri yang menceritakan hal itu di buku yang dia tulis sendiri, berjudul "All Men are Brothers".

Terlepas dari kemampuan akademisnya yang biasa-biasa aja, ada banyak aspek lain yang menarik dalam diri Gandhi saat remaja. Sebagai seorang putra dari keluarga yang mengikuti tradisi agama yang kuat, Gandhi tumbuh dengan menjunjung tinggi banyak nilai keluhuran dari agama Hindu, seperti empati kepada segala makhluk hidup, pantang makan daging hewan, menjauhi alkohol dan seks bebas, dsb. Tapi di sisi lain, dia juga menentang beberapa tradisi Hindu yang menurutnya konservatif, seperti sistem kasta Hindu India yang mengklasifikasi derajat manusia, dan juga kecenderungan lingkungan sekitarnya untuk membatasi pergaulan dengan agama lain, dll. Gandhi muda, telah berani untuk menalar konsep moral dalam dirinya sendiri, mendobrak nilai-nilai kolot yang menurutnya tidak mengacu pada dharma, menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, serta bersahabat dengan kawan-kawan dari agama lain seperti Islam dan Sikh.

Di bulan Mei 1883, Mahatma Gandhi (13 tahun) menikah dengan Kasturbai Makhanji (14 tahun) dalam pernikahan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Tidak lama setelah pernikahannya, dia melanjutkan sekolah ke Samaldas College di Bhavnagar, Gujarat. Lucunya, sekalinya Gandhi remaja ini sekolah di tempat yang jauh dari rumah, dia jadi galau, sering kangen rumah, gak betah, dll pokoknya rempong banget deh..!! Lebih lucunya lagi, atas saran dari pamannya, Gandhi malah disarankan sekalian kuliah Hukum di Universitas London.

"Katanya tadi sering kangen rumah (homesick), kok sekarang malah kuliah jauh-jauh ke London?" (#TepokJidat)

Yah namanya juga masih abege, maklum aja kalo Gandhi muda ini masih labil. Hehe..

Setibanya di London, Gandhi menempuh studi Ilmu Hukum dengan cukup baik selama 3 tahun di University College London, hingga tahun 1891 Gandhi terpaksa pulang ke India karena mendengar kabar Ibunya meninggal dunia. Setelah masa berkabung, Gandhi pun mencoba untuk memulai karirnya sebagai ahli hukum di tanah kelahirannya tapi ujung-ujungnya gagal total. Kenapa? Selidik punya selidik, ternyata Gandhi muda ini (umur 22) pembawaannya pemalu banget dan gak pede bicara di depan umum..!! "Lha terus kok ambil hukum?? Mau jadi pengacara lagi!"

"Terus gimana ceritanya si pemuda India yang udah mah gak pinter, anak rumahan, udah gitu suka galau, pemalu, grogi kalo ngomong depan umum... kok malah bisa menjadi Bapak Bangsa India, dan dikenal sebagai salah satu orang terpenting abad 20 yang telah mengubah dunia sekaligus sumber inspirasi dari tokoh-tokoh besar sekelas Mandela, Nehru, Luther King??"

Nah, cerita transformasi Gandhi muda-remaja yang cupu menjadi sosok legendaris yang mengubah dunia baru dimulai pada tahun 1893, ketika Gandhi memutuskan untuk mengembangkan karirnya sebagai pengacara di negara koloni Inggris lainnya yaitu Afrika Selatan. Penasaran gimana ceritanya si cupu Gandhi waktu muda ini menjadi salah satu sosok legendaris abad 20 yang telah mengubah dunia? Yuk lanjut bahasannya!

Karya dan Perjuangan di Afrika Selatan (1893 - 1914)

Gandhi tiba di Afrika Selatan pada tahun 1893, sebuah negara bagian kolonisasi Kerajaan Inggris seperti kampung halamannya di British-India. Gandhi yang saat ini berumur 24 tahun tentu gak bisa dibilang 'remaja' yang cupu lagi (walau kadang masih suka grogi kalo ngomong, hehe..). Sekarang Gandhi adalah seorang ahli hukum yang mau bekerja sebagai legal konsultan pada seorang pedagang Muslim keturunan India yang kaya-raya di sebuah kota bernama Pretoria, Afrika Selatan.

Jika ada hal yang menjadi pemicu perubahan besar dalam diri Gandhi dari seorang pemuda ahli hukum biasa menjadi seorang pejuang anti-kolonial yang paling ditakuti Kerajaan Inggris... itu adalah serangkaian pengalaman buruk yang diterima Gandhi pada masa-masa awal kepindahannya ke Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Gandhi melihat bahkan mengalami sendiri suatu bentuk diskriminasi yang luar biasa parah oleh orang-orang Eropa terhadap kaum kulit berwarna, baik negro maupun keturunan India.

Pada suatu kesempatan, Gandhi pernah diusir secara paksa dari kereta di Pietermaritzburg (baca: diseret lalu dilempar keluar kereta) hanya karena orang-orang bule di sana gak percaya kenapa bisa ada pemuda turunan India yang bisa memiliki tiket kereta kelas 1. Pada kesempatan lain, Gandhi juga pernah digebukin sama kusir kereta kuda hanya karena dirinya menolak turun untuk memberikan penumpang bule prioritas. Gandhi, yang sebelumnya menyandang status sosial yang cukup tinggi di negara asalnya, harus mengalami pengusiran-pengusiran paksa di beberapa hotel, bukan karena dia gak punya duit, tapi hanya karena dia bukan orang bule. Sebagai illustrasi, lo bisa nonton sedikit cuplikan adegan pengusiran Gandhi dari kereta di bawah ini:

Serangkaian kejadian ini menjadi titik balik yang luar biasa dalam pandangan hidup serta karya hidup yang ingin dia perjuangkan kelak. Sejak dirinya sendiri menyaksikan (dan juga mengalami) bentuk diskriminasi rasisme, ketidakadilan terhadap kaum kulit berwarna di Afrika Selatan, khususnya keturunan India... dia mulai memikirkan nasib bangsanya di India yang kurang-lebih merasakan perlakuan serupa oleh Kerajaan Inggris. Sampai akhirnya, dia bertekad untuk merubah situasi tersebut.

Inilah menurut gue sisi menarik dari Gandhi, ketika dirinya mengalami diskriminasi berkali-kali, diusir dari kereta dan hotel sana-sini, dicaci-maki, bahkan dipukulin rame-rame... pada umumnya manusia 'biasa' akan kapok, pasrah sama keadaan, atau justru malah membenci dan menyimpan dendam terhadap pelaku yang melakukan bentuk ketidakadilan tersebut. Tapi di sinilah keistimewaan seorang Gandhi, yang mampu menyalurkan energi kejengkelannya menjadi suatu sikap, prinsip, tekad, dan komitmen yang luar biasa gigih untuk memperbaiki situasi dan permasalahan di depan matanya.

Tekadnya itu membuat Gandhi tinggal menetap di Afrika selatan selama 21 tahun! Lama amat!? Ya, memang selama itulah dia menempa dirinya di Afrika untuk mengembangkan gagasan bagaimana melawan bentuk imperialisme dari Eropa serta membebaskan warga kulit berwarna dari bentuk diskriminisasi dan kolonisasi untuk dapat membangun negara yang mandiri. Saat-saat itu dia gunakan untuk mengasah keterampilannya berargumen, memahami bagaimana cara kerja imperialisme Barat, serta mulai membangun basis kekuatan masa dengan berkontribusi besar terselengaranya kongres bagi warga keturunan India di sebuah Kota bernama Natal, untuk menyatukan suara politik dan memupuk rasa kebersatuan antar sesama warga turunan India. Hal ini membuat Gandhi diserang pada tahun 1897 oleh para demonstran kulit putih. Walaupun gerakan kongres ini bisa dibilang kurang berhasil (malah justru dapetnya bejol dan memar) tetapi gerakan ini cukup mendapat perhatian di Afrika Selatan.

Bentuk kekerasan demi kekerasan yang dialami Gandhi, tidak lantas menyulut emosinya untuk melakukan pemberontakan dengan jalan kekerasan. Malahan pada tahun 1906 di Johannesburg, Gandhi menerapkan sebuah prinsip perlawanan melawan diskriminasi dan kolonialisme bernama Satyagraha, yaitu bentuk protes non-kooperatif tanpa kekerasan. Konsep ini mungkin akrab di telinga kita sekarang dengan istilah "aksi demonstrasi damai", tapi bagi mereka yang hidup tahun 1906 yang lalu... konsep ini adalah gagasan nyeleneh, nyentrik, konyol, malah terkesan naif. Bagaimana mungkin sebuah kelompok bisa melawan sebuah kekuatan yang menguasainya tanpa jalan kekerasan? Ini adalah gagasan yang terdengar lucu dan konyol pada masa itu. Tapi Gandhi yang mengambil filosofi ini dari ajaran Hindu, memegang prinsipnya untuk melawan tanpa kekerasan dengan komitmen dan konsisten yang gigih sampai akhir hayatnya.

Pengaruh Gandhi pada masyarakat turunan India semakin terbukti ketika perang Boer kedua meletus yang merupakan konflik militer antar Kerajaan Inggris dengan Republik Afrika Selatan. Pada masa konflik tersebut, Gandhi memimpin gerakan relawan untuk membentuk kesatuan medis dan supir ambulans yang beranggotakan warga turunan India. Gak tanggung-tanggung Gandhi berhasil mengumpulkan 1.100 orang relawan yang terlatih dan memiliki pengetahuan medis untuk mengobati korban perang. Kontribusi Gandhi dan para relawan lainnya akhirnya berhasil mencuri hati pemerintah Inggris terhadap warga keturunan India.

Keberhasilan Gandhi dalam mengangkat derajat keturunan India di Afrika selatan inilah yang membuat dirinya semakin yakin bahwa dengan prinsip yang sama, dirinya akan mampu membangun jembatan kemanusiaan antar manusia yang berbeda budaya, agama, dan warna kulit... Keyakinan itu Gandhi bawa sampai dia kembali ke India dengan membawa misi pembebasan.

PS. Setelah warga kulit hitam di Afrika Selatan memperoleh hak suara di hadapan pemerintah, Gandhi dianggap sebagai pahlawan nasional warga Afrika Selatan.

Perjuangan Memerdekakan India (1915-1947)

Inggris telah menduduki India sejak tahun 1877 sebagai salah satu dari koloni (baca: jajahan) Kerajaan Inggris. Pada awalnya, Inggris masuk ke India untuk tujuan perdagangan oleh sebuah perusahaan bernama EIC (English East India Company) yang telah memperoleh hak monopoli perdagangan di wilayah timur koloni Inggris seperti India, Malaysia, dan China. Dalam waktu 30 tahun, EIC telah memonopoli hampir seluruh aspek kehidupan ekonomi, perdagangan, serta administrasi di wilayah India. Diskriminasi dan represi terhadap orang-orang lokal terjadi di mana-mana, warga turunan India diharuskan membayar sewa atas tanah airnya sendiri, dan membayar pajak atas komoditas bahan pokok hasil bumi tanah India yang telah menjadi hak monopoli dagang Inggris.

Situasi inilah yang memicu Gandhi pulang ke tanah kelahirannya untuk membawa misi perubahan bagi rakyat India. Gandhi memulai perjuangan dengan cara sederhana, yaitu mendirikah ashram (seperti pesantren untuk agama Hindu). Gandhi mulai mengajarkan konsep satyagraha dan ahimsa yang pada intinya merupakan gerakan perlawanan dengan cara damai tanpa kekerasan. Sampai akhirnya lebih dari 250 orang bergabung dengan Gandhi untuk mempraktekkan sikap non-kekerasan, toleransi terhadap semua agama. Kelompok spiritual Gandhi ini mulai terkenal ke beberapa daerah di India hingga suatu ketika di tahun 1917, seorang petani dari wilayah pelosok datang dan minta bantuan Gandhi yang seorang ahli hukum dan spiritual untuk membantu petani berjuang melawan tuan tanah Inggris yang memungut biaya sewa tanah secara tidak adil.

Kejadian itu menyadarkan Gandhi bahwa sudah saatnya dia berjuang di lapangan untuk membela rakyat India. Dia mengabdikan dirinya untuk membela para petani di wilayah Champaran selama 2 tahun dengan bernegosiasi dengan pemerintah Inggris dan membantu penduduk mengelola kemandirian pangan, sampai akhirnya ia ditangkap oleh polisi Inggris. Dalam semalam, berita penangkapan Gandhi terdengar ke berbagai pelosok bahwa seorang pahlawan daerah yang memperjuangkan hak-hak sipil ditangkap dan diadili. Ribuan petani berkumpul di luar gedung pengadilan untuk mendukung Gadhi. Hakim dan jaksa yang ketakutan dengan ribuan masa yang tiba-tiba memenuhi gedung sidang segera membebaskan Gandhi tanpa syarat. Perjuangan Gandhi untuk para petani terus dilakukan hingga hukum agraria berhasil direformasi untuk melindungi buruh tani yang tertindas. Berita tentang keberhasilan Gandhi dalam memperjuangkan hak petani bisa benar-benar berhasil dilakukan dengan cara negosiasi dan aksi damai. Sejak saat itulah, Gandhi menjadi tumpuan harapan rakyat India.

Namun demikian, Inggris tetap membatasi hak-hak sipil, dan menekan kebebasan berbicara, pers dan berserikat, pada rakyat India di berbagai daerah. Gandhi yang saat itu telah memiliki pengaruh yang begitu luas hingga ke berbagai pelosok India (bahkan sampai dianggap sebagai orang suci), mulai berdiskusi dengan para pejuang kemerdekaan lainnya seperti Jawaharlal Nehru, Ali Jinnah, dkk untuk melakukan strategi pembebasan India dari kolonisasi Inggris. Saat itulah Gandhi berperan besar dalam membentuk prinsip dasar perjuangan kemerdekaan India. Prinsip dasar itu mencakup 4 hal utama, yaitu:

  1. Prinsip perlawanan tanpa menggunakan cara kekerasan.
  2. Bersikap non-kooperatif, menolak kerjasama dan mengabaikan seluruh himbauan serta instruksi apapun dari pemerintah Inggris.
  3. Pemboikotan produk-produk monopoli dagang Inggris serta pemogokan kerja secara serentak.
  4. Membangun kemandirian ekonomi bagi setiap kelompok masyarakat secara serentak tanpa bergantung pada produk perusahaan Inggris.

Di saat negara-negara lain berjuang melawan kolonialisme dengan mengangkat senjata, memicu bentrokan dan kekacauan untuk mengusir penjajah. Keempat prinsip ini sekilas nampak konyol, naif, dan mungkin gak realistis, tapi dibalik itu ada gagasan briliant yang membutuhkan prinsip dan komitmen yang gak main-main. Gandhi berpendapat bahwa Inggris adalah tamu di negara India, tamu yang berjumlah 100 ribu orang (Inggris) tidak akan mampu mengendalikan tuan rumah yang berjumlah 3,5 juta orang (India) jika sang tuan rumah menolak untuk bekerja sama.

Keempat prinsip ini kemudian tersebar luas dan dibuktikan oleh Gandhi dengan mengumumkan pada seluruh rakyat India untuk secara serentak melakukan hari doa bersama dan berpuasa nasional. Hasilnya sangat mencengangkan, hari itu tidak ada orang India yang datang ke pabrik, jalur transportasi lumpuh total, jutaan orang berpawai di jalan, jutaan yang lain berdoa dan berpuasa di rumah. Pemerintah Inggris betul-betul panik dan tercengang dengan aksi kolektif masal yang mampu membuat seluruh India lumpuh total hanya karena hasutan dari sekelompok pejuang kemerdekaan, termasuk Gandhi.

Pemerintah Inggris merespon aksi ini di luar kendali dengan menahan para pemimpin gerakan (termasuk Gandhi). Sampai puncaknya pada 13 April 1919 tentara Inggris melakukan pembantaian terhadap 1.500 penduduk sipil yang sedang melakukan aksi damai di sebuah lapangan Kota Amritsar. Insiden ini membuat seluruh dunia terkejut dan mengecam keras aksi kebrutalan pemerintah Inggris yang dikenal sebagai "Bangsa paling beradab" pada saat itu. Kejadian mengerikan ini juga menimbulkan banyak pertanyaan apakah prinsip anti-kekerasan ala Gandhi bisa benar-benar efektif melawan pemerintah Inggris, atau hanyalah sebuah prinsip untuk mengantarkan nyawa?

Terlepas dari perdebatan itu, Gandhi tetap bertekad untuk membaktikan seluruh sisa hidupnya demi tercapainya kemerdekaan India melalui cara-cara damai tanpa-kekerasan. Di tahun 1920, Gandhi mempengaruhi Indian National Congress untuk mengadopsi strategi satyagraha sebagai gerakan resmi demi mencapai kemerdekaan. Selama setahun setelahnya, Gandhi terus menyerukan pembangkangan sipil secara luas, memboikot barang komoditas produksi Inggris. Bahkan menghasut orang-orang untuk tidak mengenakan baju buatan pabrik Inggris dengan membuat baju dengan cara menenun sendiri.

Namun prinsip anti-kekerasan ini tidak semudah itu merasuk ke setiap sendi masyarakat India yang mendapatkan tekanan dari Inggris. Ada banyak insiden ketika sebagian kecil masa tersulut emosinya sampai melakukan pengeroyokan dan pembunuhan pada opsir polisi Inggris. Selama tahun-tahun berikut, Gandhi seringkali mengangkat sumpah untuk berpuasa hingga mati bila ada kekerasan sedikit saja di antara gerakan pembebasan India. Masyarakat India yang sangat menghormati Gandhi dan bahkan menganggap dirinya sebagai 'orang suci', akhirnya menghentikan pendekatan kekerasan dan kembali pada jalan damai.

Gandhi yang sangat keras kepala betul-betul menjalani puasa hingga menghentikan pemberontakan masal pada tahun 1922. Setelah keberhasilannya meredam pemberontakan, pengaruh Gandhi semakin ditakuti oleh pemerintah Inggris. Mereka betul-betul tidak habis pikir bagaimana mungkin pengaruh satu orang yang bersumpah untuk berpuasa dapat meredam pemberontakan jutaan orang? Konyolnya, setelah berhasil meredam pemberontakan, Gandhi malah ditangkap lagi oleh pemerintah Inggris dan disidang dengan tuntutan menghasut, Gandhi dihukum enam tahun di penjara. Dibalik penjara, pengaruh Gandhi tidak bisa hilang di hati masyarakat India. Pada suatu kesempatan Gandhi pernah mengatakan bahwa untuk berjalan menuju kemerdekaan politik dan spiritual, setiap orang di India harus siap untuk dipenjara.

Pada 5 Februari 1924, Gandhi dilepaskan dari penjara karena alasan kesehatan. Pada tahun-tahun berikutnya, Gandhi mempersiapkan kampanye internal bagi rakyat India untuk menyambut kemerdekaan. Bagi Gandhi, untuk mendapatkan kemerdekaan, rakyat India harus membuat diri mereka pantas untuk mendapatkan itu. Berikut adalah beberapa bentuk kampanye internal Gandhi bagi masyarakat India:

  1. Persatuan umat Hindu dan Muslim di India dan himbauan untuk melakukan rekonsiliasai atas konflik antar agama yang kerap terjadi di berbagai daerah.
  2. Penghapusan diskriminasi terhadap kasta rendah (paria dan sudra) atau lebih dikenal dengan sebutan dalit yang saat itu dianggap oleh masyarakat India sebagai golongan orang 'najis'.
  3. Pemberdayaan perempuan sebagai golongan yang harus disejajarkan dengan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama.

Pada 12 Maret 1930, Gandhi melakukan sebuah gerakan berjalan kaki sepanjang 240 mil ke pesisir laut Kota Dandi untuk melakukan aksi boikot terhadap produksi pajak garam yang sangat tinggi, itu kira-kira jaraknya sama dengan jalan kaki dari Jakarta ke Semarang! Gilanya lagi, aksi gerak jalan ini diikuti oleh puluhan ribu orang pendukungnya, kota demi kota dilaluinya, ribuan orang menyalaminya untuk memberikan dukungan. Sampai pada 6 April dia tiba di pesisir pantai, lalu memungut garam dari pasir (yang dianggap sebagai tindakan ilegal) sebagai bentuk protes terhadap pemungutan pajak garam.

Tindakan sederhana Gandhi itu memicu tindakan lain, ratusan ribu orang mulai memanen garam, dan mendistribusikan sebagai komoditas mandiri di luar pemerintah Inggris. Aksi boikot produksi garam itu membuat pabrik garam dan perdagangan Inggris kacau balau. Dalam watu sebulan Inggris lagi-lagi menahan Gandhi dan memenjarakan 60.000 orang yang tidak melawan sama sekali. Pada 20 Mei, dua ribu orang penganut prinsip ajaran Gandhi untuk tidak melakukan kekerasan nekat mendekati pintu tambang garam Dharsana untuk mengambil garam hak panen mereka.

Aksi damai tersebut berakhir dengan pemukulan oleh serdadu Inggris terhadap ribuan penduduk sipil secara sepihak tanpa ada bentuk perlawanan. Kejadian ini kembali menjadi sorotan dunia internasional yang mengecam kebiadaban pemerintahan Inggris. Aksi ini terus bertambah, beribu-ribu orang lain malah ikut bergabung dengan aksi protes damai itu. Dalam tahun itu, Inggris memenjarakan lebih dari 100.000 orang India karena protes damai. Jutaan orang di seluruh dunia mulai mendesak Inggris untuk meninggalkan India dan memberikan kemerdekaan.

Karena tekanan dunia internasional yang semakin memuncak, pada Maret 1931 Inggris melepas semua tahanan politik, mengakui hak boikot pakaian rakyat India, serta mencabut larangan atas produksi garam buatan sendiri. Mereka kemudian mengundang Gandhi ke Inggris untuk sebuah konferensi untuk membahas kemungkinan kemerdekaan bagi India. Gandhi pergi ke London selama 4 bulan dan mendapat banyak sambutan positif di Eropa. Namun konferensi itu tidak menghasilkan sebuah keputusan resmi apapun dan hanya bersifat seremonial oleh pemerintah Inggris.

Sekembalinya dari Eropa, Gandhi meneruskan perjuangan internal untuk menghapus diskriminasi kasta Hindu terbawah (dalit) yang selama ribuan tahun dianggap sebagai golongan najis, gelandangan, dan fakir dalam budaya Hindu India. Pada 20 September, Gandhi memulai lagi sumpah "puasa hingga mati" sebagai bentuk desakan agar para petinggi agama Hindu dapat membentuk kesepatakan untuk menghapus sistem kasta. Sikap keras kepala Gandhi ini membuat seluruh negeri bahkan dunia terkejut. Pengaruh Gandhi yang sangat besar membuat para pemimpin Hindu mulai menerima orang-orang dalit yang sebelumnya mereka anggap najis di kuil-kuil mereka. Hanya karena pengaruh seorang Gandhi, budaya konservatif Hinduisme selama ribuan tahun di India mengalami reformasi besar. Sampai Gandhi memberi sebutan baru bagi kaum dalit yaitu harijans yang berarti "Anak-anak Tuhan".

Setelah perang dunia 2 berakhir, publik India semakin yakin dalam waktu dekat Inggris akan angkat kaki dari India. Pada kesempatan itu, para pejuang pembebasan India yang beragama Muslim, termasuk Ali Jinnah menuntut agar India dibagi berdasarkan mayoritas agama. Daerah yang diduduki mayoritas beragama Islam akan menjadi negara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh). Hal ini sebetulnya tidak disetujui oleh Gandhi yang mengharapkan pemersatuan agama Islam dan Hindu untuk dapat hidup dalam keharmonisan di India. Namun ketegangan antar masyarakat Hindu dan Islam semakin memuncak, dan Gandhi memutuskan untuk mengalah demi mencegah terjadinya perang saudara.

Namun demikian, bentrokan antar kelompok Hindu dan Muslim sudah terlanjur merebak di beberapa daerah. Gandhi memutuskan untuk melakukan perjalanan di berbagai wilayah India dari mulai yang termiskin, dimana kebanyakan kerusuhan dan pembantaian brutal terjadi. Desa demi desa ia kunjungi untuk menyeruakan misi perdamaian dalam setiap kelompok bentrokan. Keseluruhannya, dia mengunjungi 49 desa dan cukup berhasil menjadi juru damai antar umat Muslim dan Hindu di berbagai daerah.

Pemerintah Inggris yang baru memutuskan untuk memberi kemerdekaan kepada India pada 15 Agustus 1947. Pada hari yang sama, negara India dengan Pakistan Barat serta Pakistan Timur (Bangladesh) memerdekakan dirinya. Dalam proses pengungsian antar wilayah tersebut, bentrokan antar warga Muslim dan Hindu kembali terjadi. Hari-hari awal kemerdekaan India dan Pakistan diwarnai dengan berbagai bentrokan dan kekacauan. Lagi-lagi Gandhi yang keras kepala memutuskan sumpah untuk berpuasa sampai mati hingga kekerasan sepenuhnya berhenti antar umat beragama. Ia memutuskan pindah ke rumah seorang Muslim yang paling miskin di Calcutta dengan tingkat bentrokan paling buruk, untuk berpuasa hingga mati di sana. Lagi-lagi Gandhi membuat 'keajaiban'.

Dalam waktu kurang dari seminggu, bentrokan antar ribuan umat Hindu dan Muslim berhenti, bahkan beberapa di antara mereka mulai berpawai dan berdoa bersama. Ketika Gandhi hampir meninggal, Calcutta terdiam dan setiap orang berdoa bagi perdamaian. Gandhi mengakhiri puasanya. Kekerasan telah berhenti karena tak seorangpun menginginkannya menderita karena apa yang mereka lakukan. Gandhi telah membuat sebuah mukjizat lagi. Namun demikian, tidak semua pihak dari Muslim maupun Hindu mendukung aksi perdamaian Gandhi. Sebagian umat Muslim di India masih banyak yang memandang sinis kepada Gandhi karena bentuk aksi puasanya itu, sementara itu banyak umat Hindu fanatik membencinya karena membela dan melindungi umat Muslim.

Puncak sentimen masyarakat ini terjadi pada 30 Januari 1948, ketika Gandhi berjalan melintasi taman menuju upacara doa. Gandhi ditembak di depan umum pada jarak dekat oleh penganut Hindu extremist karena Gandhi dinilai terlalu membela umat Muslim di India maupun Pakistan pada saat itu. Gandhi wafat pada hari itu juga. Selama hidupnya Gandhi melakukan sumpah puasa untuk menghentikan bentrokan sipil sebanyak 17 kali, dan dipenjara sebanyak 12 kali selama hidupnya.

Kontroversi & Warisan terhadap Dunia

Karya hidup Gandhi yang luar biasa pengaruhnya bagi Bangsa India, juga mempengaruhi perspektif pergerakan pembebasan di belahan dunia lain. Melalui prinsip hidupnya, Gandhi seorang seolah-olah memberikan tamparan keras bagi kedigdayaan pemerintah Inggris Raya yang dikenal sebagai kaum paling ningrat dan beradab pada masa itu... bahwa prinsip kemanusiaan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap remeh.

Walau demikian, Gandhi tetaplah seorang manusia biasa yang tidak luput pada kesalahan dan kontroversi. Pada dunia modern sekarang ini, ada sebagian dari akademisi yang menilai bahwa tindakan Gandhi untuk menuntut kebebasan India dari Inggris Raya kurang strategis karena terlalu cepat, sementara India saat itu masih sangat sulit untuk dikontrol dan mandiri secara ekonomi dan politik. Prinsip anti-kekerasan yang diyakini Gandhi itu sendiri juga kerap mendapat kritik sebagai tindakan naif yang membuang nyawa.

Terlepas dari itu, gua pribadi berpendapat bahwa rasanya terlalu sulit bagi kita untuk menghakimi mana kebijakan Gandhi yang tepat, mana yang salah... biar bagaimanapun juga, Gandhi telah menjalani perannya dengan sangat baik dalam upaya memerdekakan bangsanya. Dari sosok pemuda yang pemalu, grogi kalau bicara, dia berubah menjadi seorang aktivis pembebasan yang telah berhasil memerdekakan bangsanya dengan tetap teguh memegang prinsip jalan tanpa kekerasan hingga akhir hayatnya. Selamat hari anti-kekerasan Internasional. Long live Mahatma Gandhi!

"Generations to come will scarce to believe that such a man as this one ever in flesh and blood walked upon this Earth.” - Albert Einstein on Mahatma Gandhi

Sumber : https://www.zenius.net/blog/9510/biografi-mahatma-gandhi

Mohammad Hatta: Bukan sekedar pendamping Bung Karno

Siapa sih orang Indonesia yang tidak tahu sosok Bung Hatta? Rasanya hampir pasti semua orang di Indonesia tahu nama Mohammad Hatta, tapi berapa banyak yang benar-benar tau tentang kisah perjuangannya? Tebakan gua sih sebetulnya gak begitu banyak orang Indonesia yang betul-betul mengenal perjuangan Bung Hatta.

Kalo gua perhatikan, memang figur Mohammad Hatta seringkali hinggap di benak masyarakat umum (hanya) sebagai sosok "pendamping" Bung Karno. Dari mulai nama bandara internasional kita yang dinamakan Bandara Soekarno-Hatta, dua wajah yang menghiasai mata uang seratus ribu rupiah, lagi-lagi Hatta berdampingan dengan Bung Karno. Kemudian peran dirinya sebagai proklamator Republik Indonesia, ditandai dengan sepotong kalimat : "... atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno - Hatta". Terakhir, peran politiknya yang dikenal sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, dimana lagi-lagi presidennya adalah Soekarno.

Apakah Bung Hatta memang ditakdirkan menjadi wingman-nya Bung Karno? Apakah tidak ada peran besar dari seorang Hatta sebagai individu yang lebih mendeskripsikan identitasnya terlepas dari sosok Bung Karno? Nah, pada kesempatan kali ini, gua mendapatkan kehormatan untuk mengupas kehidupan dan perjuangan salah seorang pendiri negeri kita yang sudah terlalu lama "dikerdilkan" dengan julukan yang diberikan Orde Baru cuma sebagai 'Bapak Koperasi'.

Terlepas dari itu, gua sadar bahwa tidaklah mungkin untuk merangkum seluruh kehidupan seseorang, (apalagi sosok sebesar Bung Hatta) hanya dalam sebuah artikel. Untuk itu, gua harap para pembaca zeniusBLOG maklum jika ada banyak kisah yang tidak sempat diceritakan/terlewat pada artikel ini. Pada tulisan ini, tujuan gua sebenarnya adalah untuk mengenalkan kembali sosok Bung Hatta di kalangan para pembelajar dan intelektual muda, agar dirinya bisa kembali jadi tokoh yang menginspirasi kita dalam kehidupan kita sebagai pribadi, sebagai intelektual muda, dan sebagai calon penggerak roda negeri ini di masa depan. Yuk kita mulai kisah hidupnya!


Masa Kecil-Remaja di Indonesia (1902-1921)

Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Attar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhammad Djamil yang seorang pemuka agama meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Oleh karena itu, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang berasal dari keluarga saudagar. Masa remaja Hatta diisi dengan pendalaman agama Islam, belajar bahasa Belanda, dan mengikuti berbagai ceramah dan pertemuan politik baik yang bersifat lokal yang diisi oleh Sutan Ali Said, maupun yang berasal dari luar Jawa yang meghadirkan Abdul Moeis dari Sarekat Islam.

Di Padang, Hatta mengikuti pendidikan di ELS dan MULO (istilah SD dan SMP di jaman Belanda) dari 1913-1916. Setamat sekolah di Padang, pada pertengahan Juni 1919 Hatta melanjutkan studi di HBS (Hogere Burger School) di Betawi yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama. Di Betawi, Hatta remaja diasuh oleh pamannya yang biasa disebut dengan Mak Etek Ayub, seorang saudagar yang cukup sukses berdagang. Dia membiayai Hatta dan menumbuhkan minat dan kecintaan Hatta dengan buku-buku untuk pertama kalinya.

Dalam Otobiografinya, Bung Hatta berkali-kali menyebut keteladanan Mak Ayub sangat berdampak besar dalam perkembangan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip yang diyakininya di masa depan. Pada masa inilah, Hatta mulai belajar prinsip-prinsip berdagang, serta kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan.

Setelah lulus dari HBS dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi, pada tahun 1921 Hatta ditawari beasiswa untuk belajar di Rotterdam School of Commerce. Di saat yang hampir bersamaan, Mak Ayub jatuh bangkrut karena terlilit hutang dan sempat menjadi tahanan Hindia Belanda. Di balik jeruji penjara, Mak Ayub tetap menyemangati Hatta untuk terus melanjutkan studi di Eropa. Akhirnya, Hatta yang saat itu baru berusia 19 tahun harus berangkat ke Belanda sendirian dan merasakan hidup jauh di rantau sejak usia belasan tahun.

Masa Studi di Belanda & Lahirnya Jiwa Pemberontakan (1921-1932)

Masa studinya di Belanda ini menjadi awal mula dari perkembangan intelektual Hatta yang sangat pesat, sekaligus membuka mata Hatta untuk memenuhi panggilan dirinya dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia). Menjadi anak rantau di Eropa membuat matanya terbuka akan kemajuan peradaban, modernitas, perkembangan ilmu terbaru, serta peta perpolitikan dunia yang sedang berkecambuk paska perang dunia I dan revolusi di Rusia. Pada masa-masa ini jugalah Hatta mulai memikirkan berbagai bentuk ketidakadilan kaum kolonialis pada rakyat pribumi.

Selain melahap entah berapa ratus buku dari toko buku de Westerboekhandel dan perpustakaan kampus, Hatta juga mulai aktif dalam berorganisasi. Diawali dengan pertemuan diskusi antar sesama pelajar dari Hindia Belanda di rumah persinggahan bernama Bilderdikjstraat, Hatta aktif dalam organisasi bernama Indische vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda). Dinamika diskusinya dalam organisasi tersebut, Hatta bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Soekiman Wirjosandjojo, dkk memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup radikal pada masanya, yaitu mengubah nama organisasi mereka dari "Indische Vereeniging" menjadi "Indonesische vereeniging" yang kemudian berubah menjadi "Perhimpunan Indonesia".

Mungkin buat lo mengubah nama organisasi itu hal sepele, tapi di saat itu... perubahan nama organisasi berarti menyuarakan istilah Indonesia pertama kali dalam organisasi geopolitik (setelah sebelumnya disuarakan Tan Malaka dalam bentuk buku) yang artinya adalah bentuk pemberontakan terhadap Belanda. Dari organisasi ini, Hatta, Sjahrir, dan para pemuda lain di Perhimpunan Indonesia semakin produktif gila-gilaan dalam menyerap ratusan bahan bacaan kelas berat dari mulai filsafat, ekonomi, politik, dan sastra... sekaligus menulis artikel-artikel tajam tentang pembelaannya terhadap rakyat Hindia Belanda, salah satunya adalah buku gedenkboek indonesische vereeniging, Hindia Poetra.

Lo bisa bayangin, Hatta yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa muda, sudah berjuang untuk rakyat Hindia Belanda, tanah airnya di perantauan dengan mengikuti konferensi-konferensi Internasional di Perancis dan Belgia, bertukar ide dan gagasan dengan tokoh perjuangan antikolonialis kelas dunia semacem Nehru (Bapak Bangsa India) dan Hafiz Ramadan Bey (negarawan Mesir). Di saat mahasiswa di Indonesia jaman sekarang masih banyak yang galau karena salah jurusan, ngerjain tugas males-malesan, sering bolos kuliah, dlsb... Tahun 1927, Hatta, seorang pelajar dari tanah Minangkabau di ujung timur kepulauan asia tenggara, memimpin rapat internasional presedium menentang imperasialisme dan kolonialisme di Brussel, Belgia.

Sampai akhirnya, Hatta yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mulai meresahkan pemerintah Belanda akhirnya ditangkap dan dipenjara di Casius-straat bersama Nazir Pamuntjak, Ali sostroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Dalam masa peradilan, Hatta membuat pembelaan yang sangat terkenal dan bikin masyarakat Eropa geger berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka). Di waktu yang hampir bersamaan, Bung Karno juga menulis pembelaannya dengan judul "Indonesia Menggugat". Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan sebelum mereka berdua bertemu. Setelah hampir enam bulan dipenjara, Hatta dibebaskan dan melanjutkan kuliah hingga lulus dengan gelar Drs pada 1932.

Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis... serta ribuan buku bacaannya yang berjumlah 16 peti. Tapi terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka.

Kembali ke Tanah Air dan Diasingkan (1932-1942)

Sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung Karno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur yang lain melalui Partindo. Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan dihiasi oleh diskusi dan persahabatan, tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan masing-masing di Harian Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.

Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena sosoknya dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya, pada sebuah kesempatan kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta justru mendapat sambutan luar biasa oleh pers Jepang sampai ngebela-belain nungguin Hatta di Pelabuhan Kobe. Pers di Jepang bahkan menjulukinya "Gandhi of Java" dan selama tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari Walikota Tokyo sampai Menteri Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.

Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin ngeri akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende, kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok (1934). Kurang dari setahun (Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven Digul (Papua).

Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul adalah tempat buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama sekali. Tetapi bentuk jeruji yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan masa depan. Tempat yang menjadi "neraka" bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana hanya ada kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah "neraka" bagi para aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta? Di sana dia belajar setiap hari, menghabiskan ribuan bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan kenegaraan, dan mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di sana. Emang ga ada matinya semangat Bung Hatta ini! Masih aja sempet-sempetnya kepikiran buat belajar dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya.

Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi malah lebih rajin dan produktif dengan menulis banyak banget buku keren. Inilah, salah satu keunggulan Hatta yang sangat jarang dimiliki oleh tokoh lain. Sampai sekarang, banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan dan masyarakat setempat yang menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin buanget! Bahkan di tanah pengasingan yang tanpa masa depan, dia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat, belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi. "Untungnya", gak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara dan mengusir paksa Belanda. Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.

Masa Kependudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)

Dalam masa kependudukan Jepang, para calon pendiri negeri kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) dihadapkan pada "musuh" imperialis Jepang yang sifatnya jauh berbeda dengan Belanda. Jika sebelumnya tantangan yang dihadapi adalah pemerintahan Belanda yang masih terbuka pada dialog dan pembelaan secara birokrasi dan dialektika. Maka Jepang tidak mau ambil kompromi untuk bersilang pendapat. Silang pendapat itu artinya bersilang katana beneran! Untuk itulah para calon pendiri NKRI terpaksa harus bersikap ekstra hati-hati, lebih taktis, dan lebih kooperatif sambil tetap waspada dengan pergerakan dan tujuan tersembunyi dari pemerintah Jepang.

Dalam polemik itu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri untuk berdiskusi dengan Mayjen Harada agar tidak menjadikan Nusantara sebagai koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang mengangkat empat serangkai jadi pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang merupakan organisasi propaganda buatan Jepang untuk dapat mengendalikan rakyat Nusantara dalam perang pasifik, baik dalam upaya kerja paksa (romusha) maupun bantuan militer.

Peran serta tanggung jawab Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penderitaan rakyat pribumi atas romusha adalah sebuah perdebatan moral tiada akhir dalam sejarah bangsa ini. Di satu sisi, ini adalah pilihan berat yang mereka anggap sebagai "langkah paling tepat" pada saat itu, agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri dengan (berpura-pura) berkooperatif dengan Jepang. Di sisi lain, bagi tokoh pergerakan lapangan (seperti Tan Malaka, dkk) yang melihat secara langsung penderitaan rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta dinilai terlalu lembek bahkan pengecut karena mau-maunya jadi boneka Jepang. Puncak polemik ini adalah ketika Soekarno dan Hatta diundang ke Jepang untuk makan malam bersama Kaisar Jepang dan Perdana Menteri Tojo tahun 1943.

Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk mendapatkan moment untuk menghirup udara kemerdekaan.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)

Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah 'menang sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara" yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak seluruh kepulauan Nusantara.

Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya merebut daerah NKRI. Kedua adalah upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian. Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betul-betul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian Linggarjati dan Renville. (selengkapnya polemik perjanjian politik dan agresi militer Belanda bisa lo tonton di video ini)

Coba lo perhatikan peta di bawah ini. Ini adalah peta daerah kekuasaan Indonesia pada 1 Desember 1948. Bahkan tiga tahun berlalu setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda masih belum mau mengakui kedaulatan NKRI dan berupaya merebutnya dengan agresi militer maupun perjanjian internasional.

Puncak "kekalahan" Indonesia adalah serangan agresi militer Belanda II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu, Indonesia saat itu benar-benar kalah telak, hancur berantakan hampir tak berbekas. Jatuhnya ibukota negara (saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI), beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan musuh ini memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Untungnya di saat-saat kritis, TNI masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 ke Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu Perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam kesempatan terakhir merebut kembali jati diri Negara di Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di ambang kehancuran, seorang putera Minangkabau yang telah ditempa oleh kedisiplinan belajar yang mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949).

Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia. Ditambah dengan penyalahgunaan alokasi dana paska perang dunia II yang seharusnya digunakan Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain. Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan, karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu.

Peran Bung Hatta sebagai seorang Negarawan

Sebagian besar masyarakat umum pada masa sekarang mungkin membayangkan saat-saat Indonesia berjaya di bawah kepemimpinan Dwitunggal (Seokarno & Hatta). Seolah-olah Bung Karno dan Bung Hatta adalah partner tidak terpisahkan yang selalu bahu-membahu membangun negara dengan penuh kekompakan. Kenyataannya, Bung Hatta bisa dibilang adalah pengkritik paling keras presiden Soekarno.

Dari semua bentuk perselisihan di antara mereka, hal yang paling terlihat adalah kepercayaan Hatta yang sangat besar terhadap demokrasi. Dalam prinsip kenegaraannya, Hatta berprinsip bahwa setiap warga negara berhak mengambil bagian untuk membangun negara, oleh karena itu jumlah partai tidak boleh dibatasi. Di sisi lain Soekarno menganggap bahwa jumlah partai harus dibatasi agar mudah dikendalikan. Sementara itu Soekarno yang idealis berupaya untuk mempersatukan semua golongan (NASAKOM) agar meminimalisir perselisihan. Sebaliknya, Hatta beranggapan bahwa mempersatukan faham dan budaya yang berbeda malah akan menghilangkan asas masing-masing.

Akhirnya tiba juga masa ketika pertentangan Dwitunggal ini benar-benar tidak terjembatani lagi. Mimpi Hatta tentang Indonesia yang mendorong kebebasan multipartai, dinaungi oleh demokrasi parlementer, serta menerapkan sistem federalisme (pemerintahan desentralisasi) tidak disukai oleh Soekarno. Dalam kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri Hatta membuka peluang bagi Soekarno untuk mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959) yang diartikan oleh Hatta sebagai bentuk kediktatoran dan penyelewengan terhadap demokrasi. Kekecewaannya terhadap keputusan Soekarno ini dia tuliskan dalam buku "Demokrasi Kita" yang akhirnya dilarang beredar oleh Presiden Soekarno. Polemik antar Dwitunggal ini juga berdampak pada terjadinya pemberontakan lokal di sulawesi dan sumatera (PRRI dan PERMESTA).

Setelah Turun dari Panggung Politik (1957-1980)

Selepas mundur dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956, jangan dibayangkan Bung Hatta menikmati masa pensiun dengan bergelimang harta dari kiprah politiknya yang cemerlang, udah gitu dapat uang pensiun yang besar, bersenang-senang menikmati masa tua dengan main golf atau bersantai di kapal pesiar. Mantan wakil presiden pertama indonesia itu harus harus berjuang susah payah untuk membayar tagihan listrik rumah di jalan Diponegoro 57. Selain keteteran membayar listrik, gas, dan air, Bung Hatta bahkan tidak mampu melunasi pajak mobil dan tagihan biaya telepon di kediamannya di Megamendung. Sebagai pensiunan, Bung Hatta hanya mendapatkan Rp 1.000 sebulan, sebuah nilai yang sangat sedikit. Mengingat pasca mundurnya Bung Hatta, perekonomian Indonesia hancur dan harga-harga melambung tinggi hingga puluhan kali lipat.

Tapi terlepas dari kondisi perekonomian itu, mungkin penyebab utama kesulitan ekonomi Hatta di masa pensiunnya adalah karena dia adalah sosok yang terlalu jujur dan tidak pernah berupaya memperkaya diri dalam kekuasaan politiknya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Hatta memerintahkan sekretaris pribadinya utk mengembalikan dana taktis sebagai wapres sejumlah Rp 25.000 padahal secara normatif itu tidak perlu dilakukan.

Di samping itu, sebetulnya ada banyak perusahaan asing yang menawari dirinya menjadi komisaris utama, tapi semuanya ditolak, apa alasannya?

“Apa kata rakyat nanti?”

Sedikit banyak keputusan Hatta untuk mundur sebagai wapres adalah bentuk protes kepada banyak kebijakan Bung Karno yang ia nilai merugikan masyakarat. Dalam perspektif itu, Hatta khawatir rakyat akan berpikiran buruk dan menuduh dia mundur dari jabatan wapres untuk kepentingan bisnis dan bukan murni sebagai lambang dedikasinya pada rakyat.

Dalam masa transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, Bung Hatta pernah dipercaya oleh Presiden Soeharto menjadi pengawas korupsi di pejabat negara dan militer beserta AH Nasution. Karena mungkin akhirnya terlalu banyak pihak yang ketahuan korupsi oleh Bung Hatta, dkk. Hasil laporan tersebut tidak pernah dikemukakan pada publik.

Drs Mohammad Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno. Baru pada 7 November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .

****

Itulah sepenggal kisah tentang Bung Hatta. Moga-moga kehidupan dan perjuangan beliau bisa menjadi sumber inspirasi bagi lo semua. Bagi gua pribadi, Bung Hatta adalah sosok teladan yang paling unik. Bayangkan saja, seorang nerd, kutu buku kelas berat, yang hidupnya sangat disiplin, introvert parah, kuper, tokoh besar yang paling males untuk menjadi pusat perhatian... ternyata sosok semacam itulah yang berhasil mengejar impian yang mungkin dianggap paling sinting oleh kebanyakan orang di masa itu: Memerdekakan Hindia Belanda menjadi sebuah negara baru yang diakui dunia internasional, bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat ulang tahun, Bapak Koperasi Bangsa Indonesia, Mohammad Hatta! Semoga semakin banyak anak muda Indonesia yang tahu, bahwa engkau bukan 'hanya sekedar' pendamping Bung Karno

Sumber : https://www.zenius.net/blog/8595/biografi-mohammad-hatta

Sukarno : Kehidupan & Perjuangan Sang Pendiri Bangsa

Oke guys, dari judulnya aja lo pasti udah bisa nebak apa isi artikel ini. Yak, setelah sebelumnya zenius blog pernah nulis biografi singkat dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Kartini. Tepat hari ini tanggal 6 Juni 2016, sebagai bentuk peringatan kelahiran Bapak Bangsa kita, zenius blog mempersembahkan tulisan biografi singkat dari Ir. Sukarno, seorang pejuang revolusi, salah seorang pendiri negara kita, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Siapa sih warga negara Indonesia yang ga tau nama Sukarno? Namanya begitu melekat di setiap hati dan pikiran orang Indonesia. Jutaan orang mengidolakannya, menjadikan dirinya sebagai figur negarawan ideal, bahkan kata-katanya seringkali dianggap sebagai refleksi dari karakter Bangsa Indonesia yang seharusnya. Bagi sebagian orang, Sukarno seolah-olah adalah personifikasi dari negara Indonesia itu sendiri.

Namun demikian, kadang gua penasaran... berapa banyak sih dari orang-orang yang ngakunya mengidolakan Sukarno itu, memang betul-betul tau tentang proses perjuangan dia dalam mendirikan negara Indonesia? Sejauh mana sih orang Indonesia yang ngakunya cinta NKRI, memang betul-betul memahami gagasan, ide, serta pemikiran dari Bapak Bangsa kita ini?

Nah, dalam artikel blog kali ini, gua mendapat kehormatan untuk menulis biografi singkat dari Bapak Bangsa kita. Walaupun di luar tulisan ini sudah banyak yang mengupas sisi kehidupan Sukarno, tapi kebanyakan malah bercerita tentang gossip kehidupan pribadinya. Nah, khusus untuk artikel kali ini, gua akan fokus mengupas PROSES PERJUANGAN Sukarno dalam memerdekakan serta pokok pemikirannya tentang Negara Republik Indonesia. Selamat membaca!

Chapter 1: Masa Kecil-Remaja Sukarno (1901-1921)

Sukarno terlahir dengan nama Kusno pada 6 Juni 1901 di Surabaya dari seorang ibu keturunan bangsawan Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai dan ayahnya adalah keturunan Sultan Kediri bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo. Berdasarkan silsilah keluarga, darah pejuang sudah mengalir kental dalam diri Sukarno. Kakek moyang Sukarno dari pihak ibu adalah pejuang dari Kerajaan Singaraja dalam perang Puputan di pantai utara Bali. Sementara dari pihak ayah, mengalir darah patriot dari pahlawan tanah Jawa yaitu Diponegoro. Dari kisah perjuangan kakek-nenek moyang keluarga, hasrat pejuang pembebasan itu diwariskan terus hingga menjadi ambisi yang dalam diri Sukarno muda.

Walaupun lahir dari keturunan bangsawan dari pihak ayah maupun ibu, jangan dikira Sukarno lahir dan tumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Gelar kebangsawanan itu hanyalah tinggal nama karena kebanyakan leluhur Sukarno kalah dalam perjuangan lokal melawan kolonial Belanda. Ayah Sukarno hanyalah guru sekolah rendah di Singaraja, sementara sang ibu adalah gadis Pura yang menjaga kebersihan rumah ibadat itu. Sesudah pindah ke Blitar, Sukarno dibesarkan di tengah keluarga yang bisa gua bilang kebangetan miskinnya! Menurut otobiografi yang ditulis Sukarno dan Cindy Adams, dia tinggal di rumah yang sangat sederhana. Keluarganya bahkan ga punya sendok, garpu, ataupun sepatu. Waktu kecil keluarga Sukarno hanya bisa makan nasi 1x sehari, mereka bahkan gak mampu beli beras, jadi mereka beli padi dan harus numbuk padi sendiri setiap subuh supaya jadi beras. Bapak Bangsa kita ini memulai kehidupannya dari kemelaratan yang tak terbayangkan oleh kita semua.

Walaupun hidup dalam kemiskinan, ayahnya yang seorang guru terus menggembleng Sukarno dengan prinsip-prinsip hidup yang terus dia pegang. Karena itulah, Sukarno muda tumbuh dengan jiwa kepemimpinan, cerdas, cekatan, bawel, penuh semangat, dan sekaligus juga memiliki perasaan yang halus. Karakternya yang seperti itulah yang membuat dirinya bisa bertahan dalam diskriminasi anak-anak Belanda sewaktu belajar di sekolah Rendah Belanda hingga masuk ke Hoogere Burgerschool (HBS) sekolah menengah Belanda. Cerita dikata-katain, diludahin, sampai berantem pukul-pukulan sama anak-anak cowok Belanda, udah jadi makanan sehari-hari bagi Sukarno yang masih remaja.

Singkat cerita, sejak Sukarno masuk kelas HBS Belanda di Surabaya, dia numpang bersama kawan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh nasional sekaligus sang guru Bangsa yaitu Hadji Oemar Said Cokroaminoto (selanjutnya disebut Cokroaminoto). Pada saat itu Cokro adalah ketua Sarekat Islam, sekaligus tokoh politik masyarakat Jawa yang dijuluki Belanda "Raja Jawa tanpa mahkota". Di rumah Cokro yang sangat sederhana ini, Sukarno tinggal dan belajar bersama dengan anak asuh didik Cokro yang lain seperti Kartosoewirjo, Musso, Alimin, Semaoen.

Eh tapi jangan lo bayangin kamar asrama Sukarno itu kayak asrama yang nyaman kayak zaman sekarang ye. Menurut deskripsi langsung dari Otobiografi Sukarno, kamarnya di rumah Cokro itu tidak lebih baik dari kandang ayam! Kamarnya itu gak ada pintu, ga ada jendela, ga ada kasur, ga ada bantal, ga ada lampu. Bener-bener gelap gulita dan satu-satunya penerangan cuma dari lilin pijar. Di dalem kamar itu cuma ada meja dan kursi reyot sama tikar untuk tidur, lengkap bersama sarang-sarang serangga seperti nyamuk, kecoa, kelabang, dan laba-laba. Maknyus bener dah!

Tapi jangan salah lo, justru dari kamar yang kayak kandang ayam itulah, Sukarno menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membaca dan mengejar ilmu pengetahuan. Kalo kebanyakan anak remaja zaman sekarang pada males belajar dan suka bolos ke sekolah, Sukarno umur 15 tahun di 'kandang ayam' yang gelap penuh sarang serangga itu justru hobinya belajar, membaca, dan membedah pemikiran politikus kelas dunia dari ratusan tahun sebelumnya. Dari masih remaja, Sukarno udah katam betul perjuangan politik pembebasan Amerika beserta perjuangan para pendiri Bangsa Amerika seperti Thomas Jefferson, George Washington, Benjamin Franklin, John Adams, dkk.

Sukarno remaja juga tertarik sejarah perjuangan revolusi Perancis, revolusi industri, perjuangan buruh, declaration of independence, perang saudara di AS, sampai revolusi politik di Russia. Gila banget kan?? Seorang remaja umur 15 tahun yang lahir dalam kemelaratan, Sukarno udah gak asing lagi dengan gagasan dan pemikiran tokoh intelektual kelas dunia seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin, Rousseau, Voltaire, Gladstone, Beatrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, dan masih banyak lagi. Coba, dari nama-nama di atas berapa banyak yang lo tahu? Gokilnya lagi, Sukarno mempelajari pemikiran mereka semua dari kamar pengap yang cuma diterangi oleh 1 lilin! Dari kamar yang seperti 'kandang ayam' itulah terlahir bibit-bibit nasionalisme dan gagasan-gagasan pemberontakan Sukarno melawan kolonialisme.

Di masa remaja ini pula, tumbuh jiwa politik Sukarno bersama dengan teman-teman diskusinya. Perkumpulan politik Sukarno yang pertama adalah Tri Koro Darmo dengan tiga tujuan yaitu kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial. Tidak lama kemudian lahir perkumpulan baru dengan aktvitas yang lebih konkrit yaitu Jong Java. Dari perkumpulan inilah, Sukarno dkk memulai pendekatan politiknya dengan pergi ke kampung-kampung untuk melakukan aktivitas kerja sosial, mendirikan sekolah, membantu korban bencana, dll. Pada umur 19 tahun, Sukarno (saat itu masih SMA) udah produktif menulis gila-gilaan sampai 500 artikel di harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima untuk mengobarkan semangat pemberontakan pada masyarakat luas.

10 Juni 1921 Sukarno lulus dari HBS Belanda, lalu menikah dengan puteri dari Cokroaminoto yaitu Utari. Namun demikian pernikahannya dengan Utari (16 tahun) diakui Sukarno hanya sebatas bentuk rasa hormat pada Cokroaminoto yang khawatir akan masa depan anaknya, sehingga hubungan mereka lebih seperti kakak-adik ketimbang seperti suami istri. 1 Juli 1921, Sukarno resmi jadi mahasiswa Technische Hogeschool Bandung (TH Bandung atau THB), yang sekarang namanya berubah jadi Institut Teknologi Bandung. Dia keterima di jurusan waterbowkunde (tata bangunan air), yang dalam perkembangannya dia ternyata lebih minat jadi arsitek bangunan umum.

Setelah kuliah, Sukarno dan Utari ngekos di rumah temennya Cokro, yaitu H. Sanusi yang merupakan tokoh Sarekat Islam. Di tahun kedua masa kuliahnya, Sukarno mulai ngerasa bahwa istrinya masih 'bocah' dan belum bisa menjadi perempuan dewasa untuk menjadi seorang istri pejuang revolusi. Di samping itu, ibu kosnya Inggit Ganarsih, juga punya masalah perkawinan dengan suaminya yaitu H. Sanusi. Singkat kata singkat cerita, Sukarno dan Inggit jatuh cinta, kemudian Sukarno memutuskan untuk bercerai dengan Utari secara baik-baik. Tanpa diduga-duga, ternyata H.Sanusi juga tidak berkebaratan untuk bercerai dengan Inggit dan tidak mempermasalahkan hubungan Inggit dengan Sukarno. Ibu Inggit inilah yang kelak nantinya sangat setia menemani Sukarno di masa-masa awal perjuangannya.

Chapter 2: Awal Pergerakan Memberontak Pada Hindia (1921-1942)

Setelah bercerai dengan Utari dan menikah dengan Ibu Inggit, Sukarno semakin gencar dalam aktivitas politiknya. Sepulang dari kampus, doi sering mampir dulu ke warung nasi madura Madrawi, dari tempat itulah dia semakin kenal dengan tokoh politik lain yang juga doyan melakukan rapat politik di situ. Beberapa tokoh yang menggebrak rasa nasionalisme rakyat yaitu Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker (Setiabudi), yang merupakan pendiri Indische Partij, sebuah perkumpulan radikal dengan cita-cita pemberontakan terhadap Belanda. Sejak saat itu, Sukarno muda semakin terbakar semangatnya untuk tampil di atas panggung.

Salah satu momen yang paling menggemparkan adalah tahun 1922 ketika ada rapat raksasa di lapangan terbuka Bandung, namanya rapat radicale concentratie yang diadakan oleh organisasi kebangsaan partai-partai lokal untuk mengumpulkan petisi demi membela hak-hak pribumi. Sukarno yang saat itu cuma seorang mahasiswa tanggung, mencoba angkat tangan untuk menyampaikan pendapat di depan publik. Pada saat itu, untuk pertama kalinya kemampuan orasi Sukarno membuat ratusan penonton terperangah.

Gak tanggung-tanggung, Sukarno muda (21 tahun) secara terang-terangan menantang Belanda (tepat di depan batang hidung para polisi Belanda), dia secara tegas menolak cara-cara pengumpulan petisi, dan mengusulkan gerakan non-kooperatif total terhadap pemerintahan Hindia. Itu adalah moment yg luar biasa menggemparkan, saat itu juga rapat langsung dibubarkan polisi Belanda, dan hari itu juga nama Sukarno seorang pemuda nekat menjadi pembicaraan di seluruh kota Bandung.

Akibat peristiwa itu, Sukarno dapat peringatan serius oleh rektor TH Bandung waktu itu, Prof. Jan Klopper, yang secara khusus memanggil Sukarno ke kantornya buat ngingetin bahwa sebaiknya Sukarno jangan bikin ulah aneh-aneh, dan lebih baik fokus sama studinya yang sebentar lagi harus selesai. Karena rasa hormat pada sang professor, Sukarno manut walau setengah hati. Dia akhirnya konsen sama studi dan berhasil mempertahankan tesisnya dan lulus tahun 1926. Pada saat itu, Sukarno yang awalnya lahir dari kemelaratan, dengan ketekunan yang luar biasa, beliau berhasil menjadi insinyur ke tiga dari kalangan Bumiputera, se-Hindia Belanda. GOKIL!

Lulus sebagai insinyur, Sukarno baru merasakan kebebasan berekspresi dalam politik. Hal itu ditandai dengan sikapnya untuk ga mau ngerjain proyek-proyek pembangunan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Sukarno lebih sering bikin proyek bangunan rumah sederhana bersama kawan seangkatannya Ir. Anwari. Uniknya, setiap rumah yang dibangun sama Sukarno dan Anwari, dikasih “tanda tangan” berupa Gada Rujakpala di atas genteng, senjatanya Bima - salah satu tokoh wayang kesukaan Sukarno. Satu-satunya proyek arsitek besar yang pernah dibangun Sukarno adalah Hotel Preanger Bandung atas permintaan khusus dari Prof. Wolff Schoemaker, dosen kesayangan Sukarno.

Pembentukan PNI dan Indonesia Menggugat

Setelah beberapa kali Sukarno berkarya dalam dunia arsitek, pada akhirnya dia kembali pada ambisi terpendamnya sejak dulu, yaitu dunia politik dan pembebasan Hindia dari Belanda. Sampai pada akhirnya, Sukarno dan teman-teman diskusi politiknya di Bandung mendirikan Algemeene Studie Club (ASC). Di samping itu, rupa-rupanya gerakan politik dari tokoh nasionalis lain pun sedang bergejolak, di antaranya para lulusan perguruan tinggi di Belanda yang mendirikan Indische Vereniging (IV). Dari sisi lain Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Tan Malaka, Alimin, dan Munawar Muso juga melancarkan gerakan pemberontakan pada November 1926, namun sayangnya gagal karena rencana yang kurang matang. Sampai pada akhirnya, Sukarno dari ASC dan teman-teman dari IV bersepakat mendirikan partai baru bernama Perhimpunan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.

Di sisi lain, kegagalan pemberontakan PKI kepada pemerintahan Belanda yang sempat didukung rakyat luas membuat para petinggi partainya ditangkep dan dibuang ke Boven Digoel. Ketika rakyat semakin pesimis dan mendambakan wadah perjuangan baru, PNI inilah yang akhirnya menjadi wadah perjuangan baur bagi rakyat, dan Sukarno sebagai tokoh PNI paling vokal, mulai mendapat banyak pendukung setia di tanah Jawa.

Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai Nasional Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan slogan “Indonesia Siap Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang didukung rakyat. Terlebih, hasil kongres tersebut sangat bernuansa pemberontakan :

  1. Program politik untuk mencapai Indonesia merdeka
  2. Program ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional
  3. Menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI

Makin ketar-ketirlah pihak kolonial Belanda dengan ulah Sukarno, dkk di PNI. Gubernur Jenderal de Graeff yang waktu itu baru aja ngejabat jelas ga mau kehilangan muka kalah sama pendahulunya Dirk Fock yang telah berhasil menumpas pemberontakan PKI. Akhirnya de Graeff merintahin surat penangkapan buat para petinggi PNI seperti Sukarno, Gatot Mangkuprojo, dan Markun Sumodiredjo.

Ditangkap dan diasingkan

Malem tanggal 29 Maret 1929, di tengah-tengah orasi di Yogyakarta, Sukarno dan para petinggi PNI ditangkap dan dibawa ke Penjara Banceuy Bandung untuk nunggu pengadilan. Singkat kata singkat cerita, Sukarno pas disidang akhirnya ngeluarin pidato pembelaan yang dia kasih judul “Indonesia Menggugat” (IM). Naskah IM ini, walopun dia susun pas di rumah tahanan Banceuy yang pengap dan bau pesing, isinya luar biasa lho. Ga kurang dari 60 tokoh sedunia dia kutip dalam pidatonya itu. Mulai dari Karl Marx, Dr. Sun Yat Sen, Mustafa Kamil (tokoh nasionalis Mesir), Henk Sneevliet (pendiri Partai Komunis Belanda dan Indonesia), sampe Dr. Snouck Hurgronje, antropolog kenamaan Belanda, dia kutip untuk mendukung pembelaan diri dan bangsanya melawan pemerintahan kolonial. Dari situ Belanda kaget banget dengan kapasitas intelektual seorang insinyur muda dari kepulauan timur jauh di Asia Tenggara karena bisa memiliki pengetahuan tentang politik dunia sampai seluas itu. Kendati memberikan pembelaan, hakim tetap memutuskan Sukarno bersalah dan kembali ditahan di penjara Sukamiskin.

Kisah hidup Sukarno setelah itu kebanyakan dalam penjara atau pembuangan. Sesaat sebelum de Graeff diganti oleh Gubernur Jenderal de Jonge, dia membebas beberapa tahanan politik termasuk Sukarno. Sukarno akhirnya sempat aktif lagi di politik walau cuma sesaat dengan bergabung ke Partindo, sementara perjuangan dalam PNI dilanjutkan oleh Hatta dan Sjahrir. Namun jangan lo bayangin Sukarno itu kompak dengan kubu Hatta dan Sjahrir pada waktu itu. Justru pada awal perjuangan, Sukarno terlibat saling kritik dan cela-celaan di media lokal dengan Hatta dan Sjahrir. Karena makin bandel dan ga kapok-kapok, Sukarno akhirnya ditangkep (lagi) oleh Gubjend de Jonge dan langsung diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Sementara Hatta, Sjahrir, dkk ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok (1934), kemudian dibuang lagi ke Boven Digul Papua pada Januari 1935.

Itulah nasib perjuangan dan pengorbanan Bapak-Bapak Bangsa Indonesia, belasan tahun diburu polisi, ditangkap, penjara dan dibuang kesana-kemari. Tapi semangat mereka tetap menyala demi cita-cita sinting mereka untuk memerdekakan Hindia dan membuat negara baru bernama Indonesia. Tahun demi tahun berlalu di pembuangan, harapan itu muncul ketika Jepang mulai menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1942.

Chapter 3: Kependudukan Jepang & Kemerdekaan Indonesia (1942 - 1945)

Pada awal tahun 1942,terjadi peristiwa yang tidak diduga-duga, militer Jepang masuk ke wilayah Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda. Persenjataan militer Belanda ternyata ga ada apa-apanya dibandingkan kekuatan Nippon, Belanda yang udah ratusan tahun menduduki Hindia, bisa dipukul mundur oleh Jepang hanya dalam hitungan hari! Maret 1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet banget. Supaya dapet simpatik masyarakat, Jepang langsung ngebebasin para tokoh pemberontak dan pahlawan rakyat seperti Hatta, Sjahrir, termasuk Bung Karno.

Sukarno sekarang udah berumur 41 tahun, untuk pertama kalinya dia ngeliat adanya harapan pembebasan negerinya dari kekuasaan Eropa. Menurut Sukarno, penyerangan Jepang inilah yang bisa membuka celah untuk membebaskan Indonesia. Di sisi lain, Jepang juga ingin memanfaatkan tenaga kerja dari Bumiputera untuk bisa membantu mereka dalam perang melawan sekutu. Walaupun kepentingan antar kedua belah pihak ini seolah-olah sejalan, tapi masing-masing tetap menaruh curiga satu sama lain. Gerak-gerik Jepang sangat ga jelas maunya apa. Awalnya sih terkesan mau nolong rakyat lepas dari jajahan Eropa, tapi ya namanya mereka ini yang punya kekuatan militer superpower, kita bisa apa kalo ujung-ujungnya mereka mau ngejajah kita?

Dibawalah Sukarno ke Batavia (waktu itu baru aja namanya diganti menjadi Jakarta Tokubetsu-Shi), dan akhirnya untuk kali pertama dalam idupnya ketemuan langsung sama yang namanya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pertemuan ini bisa dibilang moment yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun 1931, tiga tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya. Dari hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah. Di sisi lain, Sjahrir nolak usulan itu dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara non-kooperatif dengan membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput.

Nah, dimulailah duet maut Sukarno dan Hatta pada saat itu. Mereka memulai berdiskusi dengan Mayjen Harada agar Nusantara bukan jadi status koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang secara setuju karena emang lagi kepepet perang, dia mengangkat empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara) jadi pimpinan Pusat Tenaga untuk mempengaruhi masyarakat berperang melawan sekutu.

Serpak terjang Sukarno dalam kurun waktu pendudukan Dai Nippon di Indonesia adalah titik sejarah yang dilematis dan sangat kontroversial. Di satu sisi, Sukarno jadi "orang kepercayaan" Jepang, dijadikan pemimpin Pusat Tenaga Rakyat buat ngebantu ngelancarin propagada Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia. Sukarno tetep percaya bahwa langkah-langkah kolaborasi ini merupakan satu-satunya langkah dalam menempuh kemerdekaan Indonesia. Langkah ini menimbulkan korban yang luar biasa banyaknya, terutama pada penduduk Pulau Jawa dan Sumatera. Lebih dari satu juta orang mati karena kelaparan gara-gara hasil pangan diambil untuk bekal tentara Jepang. Selain itu, proyek-proyek pembangunan massal dan cepat juga nimbulin banyak banget korban jiwa. Sukarno sangat menyesali andilnya dalam romusha ini, tapi dia juga berpikir bahwa hal ini sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang dengan membantu mereka berperang adalah perdebatan moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah "langkah yang paling taktis" agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri tanpa perlu berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya bahkan mampu memukul mundur Belanda hanya dalam hitungan hari. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan Malaka, bahkan juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk melawan Jepang secara terang-terangan.

Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan pasifik melawan sekutu pada awal 1945. Puncaknya ketika Bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Sukarno, dan para pejuang revolusi kita mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk menjadi negara mandiri yang merdeka.

Chapter 4: Peran Sukarno dalam Proses Pembentukan Negara (1945 - 1950)

17 Agustus 1945, NKRI secara sepihak menjadi negara yang merdeka. Sukarno membacakan teks proklamasi dalam kondisi ga tidur selama empat hari dan sedang demam tinggi 40°C karena terserang malaria. Lega campur gundah tetep nyelimutin perasaannya. Dalam kondisi yang belum 100% pulih dari demam, esok hari setelah proklamasi berangkatlah dia ke Gedung Raad van Indie, tempat dulu Volksraad berkantor. Di gedung itu lagi ngumpul para pendiri-pendiri bangsa yang sedang Rapat PPKI. Hasil rapat pada hari itu memutuskan bahwa Sukarno diangkat jadi presiden Republik Indonesia & Bung Hatta menjadi wapres.

Dengan perasaan campur aduk antara senang, bangga, sekaligus khawatir mengemban tugas yang berat tersebut. Sebenernya, ada tiga hal yang harus dikerjain oleh Sukarno selaku Presiden RI. Pertama adalah fungsi eksekutif sebagai presiden. Dari mulai milih menteri dan departemen, serta membentuk struktur wewenang yang konkrit dan jelas. Tugas kedua, menyiarkan berita kemerdekaan lewat siaran-siaran colongan dari pemancar berita Pemerintahan Jepang (jaman dulu belum ada twitter bok!). Tugas yang ketiga adalah melucuti senjata dari pihak tentara Jepang yang masih ketinggalan di Indonesia dan belum pulang kampung. Ini paling penting nih yang ketiga, karena Sukarno sudah memprediksikan, ga nyampe sebulan lagi pasti pasukan Sekutu bakal nyampe ke Indonesia. Kebayang kalo pasukan Sekutu yang begitu canggih terus kita ga punya senjata yang memadai. Bisa gagal merdeka nih!

Konsentrasi dalam hal ini pun dilakukan. Republik harus bertahan. Tapi pake apa? Tentara kah? Milisi? Apa ga bahaya kalo bentuk ketentaraan? Apa nanti ga langsung diahajar Jepang yang masih belum mengakui kemerdekaan. Biar udah gak terlalu banyak, tentara Jepang masih banyak yang bertugas buat ngejagain teritori Indonesia loh. Akhirnya tanggal 23 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bentuk dari BKR ini bukanlah ketentaraan, tapi hanya sekadar organisasi masyarakat untuk menampung para prajurit mantan PETA, Heiho, dan KNIL. Lumayan lah, dari nama wadahnya ga terlalu bikin Jepang curiga. Tapi di sisi lain, kita jadi punya organisasi pertahanan militer walau berlabel "ormas".

Senjata siap, manpower siap. Satu lagi yang harus dilakuin sama para petinggi bangsa ini. Gimana caranya seluruh dunia tau dan ngedukung perjuangan Indonesia untuk tetap merdeka. Secara teori sih sesuai Perjanjian Postdam, wilayah hasil invasi Jepang harus dikembaliin ke negara “pemilik” masing-masing. Nah, masalahnya pemilik Indonesia ini siapa? Jangan-jangan yang dimaksud itu Belanda yang udah menduduki kita selama 300 tahun. Bisa gawat nih! Nah, tugas berat untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa Republik Indonesia adalah pemilik resmi rakyat Nusantara berada dalam pundak 2 pendiri bangsa kita yang lain, yaitu Sutan Sjahrir & Mohammad Hatta. Kalo lo mau lebih tau lebih detail gimana cerdiknya Sjahrir & Hatta dalam mendapatkan pengakuan internasional, gua sarankan baca artikel biografi Sjahrir & Mohammad Hatta di blog zenius.

Hari-hari ke depan yang ga menentu buat Republik Indonesia. Urusan keamanan dan pertahanan dia serahin ke para perwira dan prajurit yang pada waktu itu belom layak disebut tentara. Kolonel Sudirman dipercaya untuk menjadi panglima TKR yang baru aja dibentuk yang gantiin panglima aslinya, Supriyadi. Para milisi non-tentara dihimpun oleh Tan Malaka untuk bisa bantuin tentara buat berjuang melawan agresi sekutu. Urusan diplomasi dipegang Sjahrir & Hatta, urusan perang & bentrokan militer dipegang Sudirman dan Malaka. Sukarno ngapain? Nah, ini nih yang jaraaang banget infonya. Apa sih peran Sukarno selama masa Revolusi?

Kalo mau dibilang lebay sih, Sukarno itu nyawanya Revolusi. Figur Indonesia yang dibawa Sukarno adalah arah perjuangan rakyat saat itu. Dalam arti lebay, Indonesia bisa dianggap ada jika dan hanya jika Sukarno tetap hidup. Berkali-kali tentara Inggris nyoba buat nangkep Sukarno, selalu gagal. Berkali-kali pula tentara NICA nyoba bunuh Sukarno, selalu gagal juga. Jadi tugas Sukarno selain melakukan tugas eksekutifnya, dia juga harus bertahan hidup dan kabur-kaburan dari entah berapa banyak percobaan pembunuhan. Dengan tetap hidup, Sukarno akan tetap menjadi "figur" yang mewakili terbentuknya NKRI & diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain ternyata ga cuma pihak asing yang ngerepotin Sukarno, orang kita sendiri pun kadang-kadang ngeribetin Sukarno buat hal-hal yang sebenernya kurang penting-penting amat untuk diladenin sama Sukarno. Jatah beras mogok dari Bekasi, Sukarno yang nyamperin. Ada sekelompok pemuda yang ngeblokade rel kereta, Sukarno pula yang ngademin mereka. Selidik punya selidik, hal-hal konyol semacam itu ternyata emang kadang dibikin-bikin karena rakyat saking penasarannya dengan sosok Sukarno dan pengen didatengin dan melihat langsung sosok Sukarno. Intinya, Sukarno merasa bahwa dirinya harus hadir di tengah-tengah masyarakat gimana pun kondisinya.

Sukarno harus mimpin sebuah negara yang sedang diserbu oleh sekutu dan sisa-sisa tentara Jepang masih menghantui. Negara baru yang bener-bener belum punya apa-apa. Duit ga ada, militer seadanya, kebutuhan pokok pas-pasan, perdagangan ke luar diblokade Belanda, kacau deh! Ujung-ujungnya apa yang dilakukan? Nyelundupin barang! Menteri Kemakmuran waktu itu, Dr. Adnan Kapau Gani akhirnya bertugas menyelundupkan barang agar nafas ekonomi negara kita berhembus di bawah tekanan perang. Segala macem diselundupin dari mulai timah, beras, hasil perkebunan, dsb untuk dituker sama persenjataan dan emas sebagai alat transaksi universal. Sukarno benar-benar ngurusin negara yang masih bayi, ga punya apa-apa, tapi punya segudang harapan dan potensi. Digaji ga dia waktu itu? Sama sekali nggak.

Di bawah Sjahrir atas arahan Sukarno, Indonesia berhasil mencapai kata sepakat sama Negeri Belanda pada Perundingan Linggarjati tahun 1947. Baru deh Sukarno agak lega, karena walaupun rugi bandar secara teritorial, Republik ini bisa napas. Untuk sejenak, ga ada lagi pertempuran yang sifatnya bunuh-bunuhan. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1949 giliran Bung Hatta yang memberi kemenangan telak atas Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, dengan memenangkan teritori kedaulatan Indonesia dari Sabang sampai NTT & Maluku (Timor-Timur dan Irian Barat menyusul). Kalau bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia bentuknya ga akan seluas seperti yang kita kenal sekarang.

 

Chapter 5 : Demokrasi Liberal (1950 - 1959)

Usai sudah masa Revolusi yang penuh dengan pertumpahan darah dan intrik-intrik baik dari kalangan eksternal maupun internal (konflik PKI Madiun, berdirinya Negara Islam Indonesia, dsb). Saatnya Indonesia bisa berfungsi layaknya negara merdeka pada umumnya. Saat itu, negara kita ini udah terlanjur memiliki bentuk federasi sesuai dengan isi KMB. Sukarno dan Hatta, memutuskan untuk segera ngubah bentuk negara menjadi negara kesatuan seperti yang dicita-citain waktu Proklamasi. Tugas pertama Sukarno sebagai presiden RIS adalah bikin RIS jadi NKRI.

Seabis ganti bentuk negara dan ganti undang-undang dari Konstitusi RIS ke UUDS 1950, Sukarno memutuskan bahwa sekaranglah saatnya dia berperan sebagai “duta” Indonesia untuk seluruh dunia dan mengenalkan negara baru ini ke hadarapan para pemimpin dunia. Sementara untuk urusan dalam negeri, Sukarno cuma mau tiga masalah diselesaikan oleh para Perdana Menteri:

  1. Irian Barat direbut kembali.
  2. Pemilihan Umum.
  3. Menjaga keutuhan NKRI.

Nah, mulailah rencana Sukarno dalam memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Hal pertama yang dia lakukan adalah merencanakan sebuah pertemuan akbar di Bandung bersama dengan PM Ali Sastroamijoyo. Yes, pertemuan itu bernama Konferensi Asia Afrika (KAA). Dengan pidato yang ciamik untuk mempersatukan kerjasama antar negara-negara di Asia dan Afrika, Sukarno menggoyang panggung KAA dan mengenalkan nama negara kita pada negara-negara di Asia dan Afrik. Sekali tepuk dua benua, boss!

Keberhasilan Ali dan Sukarno di KAA bikin nama Indonesia makin nyata di kancah internasional. KAA dianggap oleh bangsa-bangsa dunia ke tiga sebagai wujud dari perlawanan atas penjajahan dan kolonialisme. Perlawanan sekeren itu Indonesia yang bikin coy! Status ini dipake sama Sukarno untuk muncul ke tengah-tengah panggung dunia sebagai tokoh yang sangat anti penjajahan dan menjunjung tinggi kenetralan. Baik Eisenhower & Kennedy (dua presiden Amrik) maupun Nikita Khrushchev (pemimpin Uni Soviet) menaruh perhatian besar kepada sosok Sukarno. Di mata dunia, Sukarno menjadi sosok pemimpin yang betul-betul netral dalam perang dingin, tidak memihak (non-blok), namun secara tegas menolak penjajahan dan kolonialisme. Itulah kenapa, Sukarno bisa akrab dengan banyak pemimpin dunia dari berbagai macam latar belakang ideologi.

Usai sudah KAA, Pemilu pun digelar. Hasilnya justru membuat Sukarno kecewa. Bukannya pesta demokrasi yang makin tercipta, malah musuh politik jadi makin banyak. PNI, Masyumi, NU, PSI, saling melakukan serangan politik satu sama lain. Para pejabat yang harusnya mikirin kesejahteraan rakyat, malah main kubu-kubuan, sindir-sindirian satu sama lain. Di sisi lain, PKI justru berhasil menarik simpati rakyat sebagai organisasi awal yang mengimpun massa dalam revolusi melawan Belanda maupun agresi militer pasca kemerdekaan.

Selain itu, situasi keamanan negara juga makin ga jelas. Banyak perwira-perwira yang udah keliatan bakal mau protes bahkan merencanakan pemberontakan. Ada Kolonel Alex Kawilarang dan Letkol Vantje Sumual dari Sulawesi, ada Kolonel Maludin Simbolon dari Sumatera Utara, dan Kapten Kahar Muzakkar sudah menyatakan diri bergabung dengan Negara Islam Indonesia bentukan SM Kartosuwiryo, temen sekamar Sukarno waktu remaja saat tinggal di rumah Pak Cokroaminoto. Ironis banget temen seperjuangan Sukarno dari remaja saat melawan kolonial, sekarang malah jadi pemimpin pemberontak NKRI. Di saat itu, keutuhan NKRI mulai terancam, bukan lagi dari pihak luar, tapi justru dari internal saudara sebangsa kita sendiri.

Pendapat parlemen hasil pemilu waktu itu mengusulkan Hatta yang bisa ngatasin semua ini dan selayaknya dia jadi Perdana Menteri. Eh, Bung Hatta malah memutuskan untuk mengundurin diri dari posisi Wapres dan ga mau ikut-ikutan lagi dalam percaturan politik RI. Di satu sisi memang pasal UUDS 1950 ga memperbolehkan Wapres jadi PM, di sisi lain belakangan emang Bung Hatta makin ga cocok sama Bung Karno dalam visi politiknya. Enough is enough, tugas gue untuk bikin negara ini merdeka 100% udah selesai dengan kesuksesan di KMB, sekarang gua ga mau ikut-ikutan politik kotor ini, begitu mungkin menurut kata hati Hatta yang integritasnya ga ada yang nandingin sepanjang sejarah Indonesia.

Sendirian, Sukarno akhirnya dapat dukungan dari TNI yang juga setuju kalo perpecahan internal di kalangan politik dan pemberontakan internal ini ga bisa dibiarkan lebih lama lagi. Dengan dukungan penuh dari Jenderal Nasution yang waktu itu dipercaya lagi sebagai Panglima TNI, jatuhlah Dekrit Presiden 1959. Kekuasaan kembali jatuh ke tangan presiden.

"Ga ada lagi sistem multipartai yang malah bikin ribet dan memupuk konflik internal begini, biarin aja gua dibilang diktator sama Hatta! Kalo partai-partai itu terus berseteru, bisa-bisa perang saudara gara-gara mereka pada haus kekuasaan!"

Begitulah kurang lebih pendapat Sukarno terhadap sistem Demokrasi Liberal. Sejak saat itulah, lahir yang namanya demokrasi terpimpin.

Chapter 6 : Demokrasi Terpimpin - Lengser dari Pemerintahan (1950 - 1966)

Sebenernya, apa sih yang dimaksud sama Demokrasi Terpimpin a la Sukarno? Sukarno sih ngakunya konsep ini udah dia pikirin sejak tahun 1928, dan menurut dia, konsep demokrasi yang seperti ini lah yang paling cocok dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia, secara sosiologis menurut dia, adalah bangsa yang membutuhkan figur “Bapak” dalam keluarga tempat segala keputusan ditentukan dan diimplementasikan oleh anggota keluarga yang lain, seperti halnya bangsa-bangsa dengan adat ketimuran lainnya.

Supaya ada yang mengevaluasi dan mencegah dirinya gak jadi diktator, diangkatlah tiga orang yang dikasih jabatan Deputi Perdana Menteri: Subandrio, Dr. Leimena, dan Khairul Saleh. Lebih lanjut, buat nyegah terjadinya kesewenang-wenangan pada fungsi eksekutif, dibentuklah MPRS dan DPR Gotong Royong, yang terdiri dari wakil-wakil partai, angkatan bersenjata, tokoh-tokoh terkemuka dari setiap daerah, dll. Ditambah lagi, beberapa orang ahli yang dapat memberikan masukan dan saran terhadap jalannya pemerintahan yang digabungin dalam satu badan khusus yang disebut Dewan Pertimbangan Agung. Baru kali inilah, Sukarno bisa dibilang betul-betul berkuasa secara eksekutif, baru sekarang ini juga terbentuk sistem negara impian Sukarno sejak masa mudanya.

Terus, apa sih yang dihadapin sama pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin? Ada banyak hal, salah satunya adalah protes keras dari banyak pihak intelektual yang mengkritik keputusan Dekrit & terciptanya Demokrasi Terpimpin. Dari namanya saja, bentuk pemerintahan ini dinilai menghianati makna demokrasi yang sesungguhnya dan membuka pintu bagi kediktatoran dengan kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu sosok, yaitu Sukarno. Kritik terhadap Sukarno ini dilakukan bukan hanya oleh tokoh mahasiswa seperti Soe Hok Gie, tapi juga para kawan-kawan seperjuangannya seperti Moh Hatta, Sjahrir, dan juga Natsir.

Tapi di antara semua masalah itu, hal yang paling bikin gemes sih, masalah perebutan Irian Barat yang gak beres-beres udah belasan taun. Akhirnya, Sukarno memercayakan isu-isu keamanan dan teritorial ini kepada 3 ksatria yang paling dia andalkan. Secara umum, masalah pertahanan ini dia percayakan pada Jenderal Abdul Harris Nasution. Untuk ngurus pemberontak macem Negara Islam Indonesia dan PRRI-Permesta, dia percayain kepada perwira kesayangannya yang jago banget meredam pemberontakan yaitu Mayor Jenderal Ahmad Yani. Untuk masalah Irian Barat dia percayain ahli strategi lapangan yang sangat berpengalaman dari sejak agresi militer Belanda sekaligus komandan pasukan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Jenderal Suharto.

Dari ketiga ksatria ini, Ahmad Yani adalah anak emas kesayangan Sukarno. Bahkan berdasarkan desas-desus yang berkembang di kalangan petinggi militer maupun sipil, Sukarno sedang mempertimbangkan Yani sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Tapi di sisi lain, ada juga tokoh kuat yang punya pendukung paling banyak di masa Demokrasi Terpimpin, yaitu Ahmad Aidit yang waktu itu lebih dikenal dengan nama D.N. Aidit, Ketua Comite Central PKI. Aidit juga sangat dekat dengan Sukarno dan disebut-sebut juga sebagai calon kuat pengganti Sukarno karena memiliki dukungan luas, terutama dari kalangan petani dan buruh. Permainan Tahta pun dimulai.

Ketegangan politik pada era Demokrasi Terpimpin akhirnya pecah dalam 1 peristiwa yang sangat luar biasa. Yak, mungkin lo udah bisa nebak bahwa peristiwa itu adalah gerakan 30 september 1965 dimana terjadi pembunuhan yang paling misterius dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Tujuh perwira tinggi yang menjadi target upaya pembunuhan, 6 jendral terbunuh termasuk Ahmad Yani, sementara 1 jendral yang selamat adalah AH. Nasution. Peristiwa ini kemudian menjadi titik tonggak perubahan transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Sukarno.

Peristiwa 30 September ini bisa dibilang sebagai catatan sejarah Indonesia yang paling kelam, paling misterius, paling kontroversial, dan sangat sensitif untuk dibahas terutama pada masa pemerintahaan Orde Baru. Peristiwa ini begitu mempengaruhi nasib jutaan masyarakat Indonesia, dari mulai peralihan transisi kekuasaan, posisi kebijakan luar negeri Indonesia, serta penangkapan dan pembunuhan masal selama puluhan tahun. Peristiwa ini begitu kompleks hingga memunculkan berbagai macam versi sejarah, dimana secara detail udah pernah gua & Glenn bahas secara mendalam pada artikel Dinamika Catatan Sejarah Gerakan 30 September 1965. Buat lo yang penasaran tentang berbagai macam versi sejarahnya, bisa coba baca artikel itu setelah beres baca artikel ini.

Chapter 7 : Lengser sampai Menutup usia (1966 - 1970)

Setelah peristiwa 30 September 1965, inflasi membumbung tinggi. Harga-harga kebutuhan pokok naik drastis berkali-kali lipat. Terjadi tuding-menuding antar elemen bangsa. Sukarno sendiri gimana? Di tengah kondisi kesehatannya yang memburuk karena serangan stroke, Sukarno pusing sendiri karena balance of power yang dia jaga selama ini untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat, yang dia namain sebagai NASAKOM (+militer), gagal total. Kekuasaan bikin orang-orang jadi saling bunuh, saling serang, saling nyalah-nyalahin, dsb. Keyakinan bahwa bangsa ini akan menjadi cahaya bagi kebebasan umat sedunia dengan Gerakan Non Blok dan sikap anti imperialismenya runtuh bukan karena penjajah, tapi karena ulah kalangan internal rakyat Indonesia sendiri.

Rakyat jelata semakin tercekik dengan krisis ekonomi yang mengerikan, rakyat semakin tidak percaya pada pemerintah. Kekuasaan Sukarno akhirnya bener-bener terancam setelah 26 tahun menjadi figur sentral dalam pembentukan bangsa ini. Di tengah-tengah intrik politik perebutan tahta ini, Sukarno bener-bener dibuat bingung, siapakah orang yang bisa dia percaya, siapakah musuh dalam selimut? Akhirnya di akhir masa kekuasaannya, dia hanya berfokus pada dua hal, yaitu membersihkan namanya dan mencegah adanya pertumpahan darah yang meluas di kalangan rakyat.

Demonstrasi mahasiswa yang makin meluas dan kritik dari para “musuh” politiknya terus gencar sampai pada akhirnya MPRS yang dipimpin oleh Nasution, menjatuhkan mosi tidak percaya terhadap presiden Sukarno dan 3 point utama, yaitu:

  1. Membiarkan G30S terjadi,
  2. Membiarkan ekonomi merosot, dan
  3. menjatuhkan moral bangsa dengan perilaku-perilaku “genit” terhadap perempuan.

Dengan tuntutan dari MPRS ini, Sukarno harus melakukan pembelaan diri terhadap MPR yang ia namakan “Nawaksara”. Ini merupakan langkah terakhir Sukarno untuk mempertahankan Demokrasi Terpimpin sekaligus jabatannya sebagai presiden. Pada akhirnya pembelaan ini ditolak oleh MPRS, bahkan Sukarno dijerat oleh Tap MPRS No. 33/MPR/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Sukarno. Sekaligus menjadi dasar tudingan bahwa Sukarno terlibat dengan gerakan G30S bahkan memberikan keputusan yang melindungi tokoh-tokoh yang diduga kuat mendalangi peristiwa G30S/PKI. Ketetapan itu menjadi sikap MPRS pamungkas untuk menjatuhkan Sukarno dari kekuasaan dengan dugaan pengkhianatan.

Sukarno akhirnya tidak berdaya lagi dengan situasi politik yang sudah terlalu menyudutkan dia. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Sukarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Ga kebanyang gimana perasaan Sukarno yang diberhentikan atas tuduhan mengkhianati negara yang dia perjuangkan dari 40 tahun terakhir. Dari sejak muda menjadi tokoh pemberontak Belanda, dibuang dan dipenjara belasan tahun, akhirnya harus ikut propaganda Jepang yang menelan jutaan nyawa rakyatnya, belum lagi belasan kali percobaan pembunuhan yang terus meneror hidupnya.

Sukarno akhirnya betul-betul sendirian. Ga ada lagi Hatta, Sjahrir, Ali, Natsir, Aidit yang biasa jadi penasehatnya yang dia percaya. Setelah lengser, Sukarno yang kondisi kesehatannya makin parah, dijadiin tahanan rumah dengan penjagaan ketat dan bantuan medis seadanya oleh negara yang dia perjuangkan sejak muda. Sampai pada akhirnya pada 21 Juni 1970 pkl 07.00 pagi Ir. Sukarno meninggal dunia. Walaupun Sukarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis Bogor, namun pemerintahan Presiden Suharto memilih Kota Blitar, sebagai tempat peristirahatan terakhir, sang pendiri negara Indonesia.

****

Demikian persembahan dari gue di ulang tahun Sukarno ke-115. Tentu mustahil rasanya untuk merangkum kehidupan sosok sebesar Bung Karno hanya dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu gua secara pribadi berharap agar pembaca maklum, jika ada banyak kisah sisi kehidupan beliau yang terlewatkan. Untuk itu juga, gua berharap para pembaca (khususnya kaum muda) untuk mencoba secara proaktif menggali dan mengenal lebih dalam sosok Bapak Bangsa kita yang sangat luar biasa ini. Dari seorang pemuda melarat yang tidak punya apa-apa, dan tumbuh di kamar yang seperti kandang ayam, Sukarno terus berjuang dengan mempersembahkan seluruh hidupnya agar kita semua mendapatkan hidup yang merdeka. Selamat ulang tahun Sang Pendiri Bangsa Indonesia, MERDEKA!

 

Referensi

Adams, Cindy. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Bung Karno & penerbit Media Pressindo.
Ir. Sukarno. 1964. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi
Tim Buku Tempo. 2015. Sukarno Paradoks Revolus Indonesia. Jakarta: KPG.
Sumber: https://www.zenius.net/blog/12208/biografi-sukarno-soekarno