Mohammad Hatta: Bukan sekedar pendamping Bung Karno

Siapa sih orang Indonesia yang tidak tahu sosok Bung Hatta? Rasanya hampir pasti semua orang di Indonesia tahu nama Mohammad Hatta, tapi berapa banyak yang benar-benar tau tentang kisah perjuangannya? Tebakan gua sih sebetulnya gak begitu banyak orang Indonesia yang betul-betul mengenal perjuangan Bung Hatta.

Kalo gua perhatikan, memang figur Mohammad Hatta seringkali hinggap di benak masyarakat umum (hanya) sebagai sosok "pendamping" Bung Karno. Dari mulai nama bandara internasional kita yang dinamakan Bandara Soekarno-Hatta, dua wajah yang menghiasai mata uang seratus ribu rupiah, lagi-lagi Hatta berdampingan dengan Bung Karno. Kemudian peran dirinya sebagai proklamator Republik Indonesia, ditandai dengan sepotong kalimat : "... atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno - Hatta". Terakhir, peran politiknya yang dikenal sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, dimana lagi-lagi presidennya adalah Soekarno.

Apakah Bung Hatta memang ditakdirkan menjadi wingman-nya Bung Karno? Apakah tidak ada peran besar dari seorang Hatta sebagai individu yang lebih mendeskripsikan identitasnya terlepas dari sosok Bung Karno? Nah, pada kesempatan kali ini, gua mendapatkan kehormatan untuk mengupas kehidupan dan perjuangan salah seorang pendiri negeri kita yang sudah terlalu lama "dikerdilkan" dengan julukan yang diberikan Orde Baru cuma sebagai 'Bapak Koperasi'.

Terlepas dari itu, gua sadar bahwa tidaklah mungkin untuk merangkum seluruh kehidupan seseorang, (apalagi sosok sebesar Bung Hatta) hanya dalam sebuah artikel. Untuk itu, gua harap para pembaca zeniusBLOG maklum jika ada banyak kisah yang tidak sempat diceritakan/terlewat pada artikel ini. Pada tulisan ini, tujuan gua sebenarnya adalah untuk mengenalkan kembali sosok Bung Hatta di kalangan para pembelajar dan intelektual muda, agar dirinya bisa kembali jadi tokoh yang menginspirasi kita dalam kehidupan kita sebagai pribadi, sebagai intelektual muda, dan sebagai calon penggerak roda negeri ini di masa depan. Yuk kita mulai kisah hidupnya!


Masa Kecil-Remaja di Indonesia (1902-1921)

Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Attar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhammad Djamil yang seorang pemuka agama meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Oleh karena itu, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang berasal dari keluarga saudagar. Masa remaja Hatta diisi dengan pendalaman agama Islam, belajar bahasa Belanda, dan mengikuti berbagai ceramah dan pertemuan politik baik yang bersifat lokal yang diisi oleh Sutan Ali Said, maupun yang berasal dari luar Jawa yang meghadirkan Abdul Moeis dari Sarekat Islam.

Di Padang, Hatta mengikuti pendidikan di ELS dan MULO (istilah SD dan SMP di jaman Belanda) dari 1913-1916. Setamat sekolah di Padang, pada pertengahan Juni 1919 Hatta melanjutkan studi di HBS (Hogere Burger School) di Betawi yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama. Di Betawi, Hatta remaja diasuh oleh pamannya yang biasa disebut dengan Mak Etek Ayub, seorang saudagar yang cukup sukses berdagang. Dia membiayai Hatta dan menumbuhkan minat dan kecintaan Hatta dengan buku-buku untuk pertama kalinya.

Dalam Otobiografinya, Bung Hatta berkali-kali menyebut keteladanan Mak Ayub sangat berdampak besar dalam perkembangan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip yang diyakininya di masa depan. Pada masa inilah, Hatta mulai belajar prinsip-prinsip berdagang, serta kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan.

Setelah lulus dari HBS dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi, pada tahun 1921 Hatta ditawari beasiswa untuk belajar di Rotterdam School of Commerce. Di saat yang hampir bersamaan, Mak Ayub jatuh bangkrut karena terlilit hutang dan sempat menjadi tahanan Hindia Belanda. Di balik jeruji penjara, Mak Ayub tetap menyemangati Hatta untuk terus melanjutkan studi di Eropa. Akhirnya, Hatta yang saat itu baru berusia 19 tahun harus berangkat ke Belanda sendirian dan merasakan hidup jauh di rantau sejak usia belasan tahun.

Masa Studi di Belanda & Lahirnya Jiwa Pemberontakan (1921-1932)

Masa studinya di Belanda ini menjadi awal mula dari perkembangan intelektual Hatta yang sangat pesat, sekaligus membuka mata Hatta untuk memenuhi panggilan dirinya dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia). Menjadi anak rantau di Eropa membuat matanya terbuka akan kemajuan peradaban, modernitas, perkembangan ilmu terbaru, serta peta perpolitikan dunia yang sedang berkecambuk paska perang dunia I dan revolusi di Rusia. Pada masa-masa ini jugalah Hatta mulai memikirkan berbagai bentuk ketidakadilan kaum kolonialis pada rakyat pribumi.

Selain melahap entah berapa ratus buku dari toko buku de Westerboekhandel dan perpustakaan kampus, Hatta juga mulai aktif dalam berorganisasi. Diawali dengan pertemuan diskusi antar sesama pelajar dari Hindia Belanda di rumah persinggahan bernama Bilderdikjstraat, Hatta aktif dalam organisasi bernama Indische vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda). Dinamika diskusinya dalam organisasi tersebut, Hatta bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Soekiman Wirjosandjojo, dkk memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup radikal pada masanya, yaitu mengubah nama organisasi mereka dari "Indische Vereeniging" menjadi "Indonesische vereeniging" yang kemudian berubah menjadi "Perhimpunan Indonesia".

Mungkin buat lo mengubah nama organisasi itu hal sepele, tapi di saat itu... perubahan nama organisasi berarti menyuarakan istilah Indonesia pertama kali dalam organisasi geopolitik (setelah sebelumnya disuarakan Tan Malaka dalam bentuk buku) yang artinya adalah bentuk pemberontakan terhadap Belanda. Dari organisasi ini, Hatta, Sjahrir, dan para pemuda lain di Perhimpunan Indonesia semakin produktif gila-gilaan dalam menyerap ratusan bahan bacaan kelas berat dari mulai filsafat, ekonomi, politik, dan sastra... sekaligus menulis artikel-artikel tajam tentang pembelaannya terhadap rakyat Hindia Belanda, salah satunya adalah buku gedenkboek indonesische vereeniging, Hindia Poetra.

Lo bisa bayangin, Hatta yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa muda, sudah berjuang untuk rakyat Hindia Belanda, tanah airnya di perantauan dengan mengikuti konferensi-konferensi Internasional di Perancis dan Belgia, bertukar ide dan gagasan dengan tokoh perjuangan antikolonialis kelas dunia semacem Nehru (Bapak Bangsa India) dan Hafiz Ramadan Bey (negarawan Mesir). Di saat mahasiswa di Indonesia jaman sekarang masih banyak yang galau karena salah jurusan, ngerjain tugas males-malesan, sering bolos kuliah, dlsb... Tahun 1927, Hatta, seorang pelajar dari tanah Minangkabau di ujung timur kepulauan asia tenggara, memimpin rapat internasional presedium menentang imperasialisme dan kolonialisme di Brussel, Belgia.

Sampai akhirnya, Hatta yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mulai meresahkan pemerintah Belanda akhirnya ditangkap dan dipenjara di Casius-straat bersama Nazir Pamuntjak, Ali sostroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Dalam masa peradilan, Hatta membuat pembelaan yang sangat terkenal dan bikin masyarakat Eropa geger berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka). Di waktu yang hampir bersamaan, Bung Karno juga menulis pembelaannya dengan judul "Indonesia Menggugat". Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan sebelum mereka berdua bertemu. Setelah hampir enam bulan dipenjara, Hatta dibebaskan dan melanjutkan kuliah hingga lulus dengan gelar Drs pada 1932.

Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis... serta ribuan buku bacaannya yang berjumlah 16 peti. Tapi terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka.

Kembali ke Tanah Air dan Diasingkan (1932-1942)

Sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung Karno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur yang lain melalui Partindo. Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan dihiasi oleh diskusi dan persahabatan, tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan masing-masing di Harian Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.

Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena sosoknya dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya, pada sebuah kesempatan kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta justru mendapat sambutan luar biasa oleh pers Jepang sampai ngebela-belain nungguin Hatta di Pelabuhan Kobe. Pers di Jepang bahkan menjulukinya "Gandhi of Java" dan selama tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari Walikota Tokyo sampai Menteri Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.

Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin ngeri akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende, kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok (1934). Kurang dari setahun (Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven Digul (Papua).

Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul adalah tempat buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama sekali. Tetapi bentuk jeruji yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan masa depan. Tempat yang menjadi "neraka" bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana hanya ada kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah "neraka" bagi para aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta? Di sana dia belajar setiap hari, menghabiskan ribuan bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan kenegaraan, dan mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di sana. Emang ga ada matinya semangat Bung Hatta ini! Masih aja sempet-sempetnya kepikiran buat belajar dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya.

Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi malah lebih rajin dan produktif dengan menulis banyak banget buku keren. Inilah, salah satu keunggulan Hatta yang sangat jarang dimiliki oleh tokoh lain. Sampai sekarang, banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan dan masyarakat setempat yang menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin buanget! Bahkan di tanah pengasingan yang tanpa masa depan, dia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat, belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi. "Untungnya", gak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara dan mengusir paksa Belanda. Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.

Masa Kependudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)

Dalam masa kependudukan Jepang, para calon pendiri negeri kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) dihadapkan pada "musuh" imperialis Jepang yang sifatnya jauh berbeda dengan Belanda. Jika sebelumnya tantangan yang dihadapi adalah pemerintahan Belanda yang masih terbuka pada dialog dan pembelaan secara birokrasi dan dialektika. Maka Jepang tidak mau ambil kompromi untuk bersilang pendapat. Silang pendapat itu artinya bersilang katana beneran! Untuk itulah para calon pendiri NKRI terpaksa harus bersikap ekstra hati-hati, lebih taktis, dan lebih kooperatif sambil tetap waspada dengan pergerakan dan tujuan tersembunyi dari pemerintah Jepang.

Dalam polemik itu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri untuk berdiskusi dengan Mayjen Harada agar tidak menjadikan Nusantara sebagai koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang mengangkat empat serangkai jadi pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang merupakan organisasi propaganda buatan Jepang untuk dapat mengendalikan rakyat Nusantara dalam perang pasifik, baik dalam upaya kerja paksa (romusha) maupun bantuan militer.

Peran serta tanggung jawab Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penderitaan rakyat pribumi atas romusha adalah sebuah perdebatan moral tiada akhir dalam sejarah bangsa ini. Di satu sisi, ini adalah pilihan berat yang mereka anggap sebagai "langkah paling tepat" pada saat itu, agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri dengan (berpura-pura) berkooperatif dengan Jepang. Di sisi lain, bagi tokoh pergerakan lapangan (seperti Tan Malaka, dkk) yang melihat secara langsung penderitaan rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta dinilai terlalu lembek bahkan pengecut karena mau-maunya jadi boneka Jepang. Puncak polemik ini adalah ketika Soekarno dan Hatta diundang ke Jepang untuk makan malam bersama Kaisar Jepang dan Perdana Menteri Tojo tahun 1943.

Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk mendapatkan moment untuk menghirup udara kemerdekaan.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)

Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah 'menang sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara" yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak seluruh kepulauan Nusantara.

Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya merebut daerah NKRI. Kedua adalah upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian. Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betul-betul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian Linggarjati dan Renville. (selengkapnya polemik perjanjian politik dan agresi militer Belanda bisa lo tonton di video ini)

Coba lo perhatikan peta di bawah ini. Ini adalah peta daerah kekuasaan Indonesia pada 1 Desember 1948. Bahkan tiga tahun berlalu setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda masih belum mau mengakui kedaulatan NKRI dan berupaya merebutnya dengan agresi militer maupun perjanjian internasional.

Puncak "kekalahan" Indonesia adalah serangan agresi militer Belanda II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu, Indonesia saat itu benar-benar kalah telak, hancur berantakan hampir tak berbekas. Jatuhnya ibukota negara (saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI), beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan musuh ini memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Untungnya di saat-saat kritis, TNI masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 ke Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu Perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam kesempatan terakhir merebut kembali jati diri Negara di Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di ambang kehancuran, seorang putera Minangkabau yang telah ditempa oleh kedisiplinan belajar yang mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949).

Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia. Ditambah dengan penyalahgunaan alokasi dana paska perang dunia II yang seharusnya digunakan Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain. Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan, karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu.

Peran Bung Hatta sebagai seorang Negarawan

Sebagian besar masyarakat umum pada masa sekarang mungkin membayangkan saat-saat Indonesia berjaya di bawah kepemimpinan Dwitunggal (Seokarno & Hatta). Seolah-olah Bung Karno dan Bung Hatta adalah partner tidak terpisahkan yang selalu bahu-membahu membangun negara dengan penuh kekompakan. Kenyataannya, Bung Hatta bisa dibilang adalah pengkritik paling keras presiden Soekarno.

Dari semua bentuk perselisihan di antara mereka, hal yang paling terlihat adalah kepercayaan Hatta yang sangat besar terhadap demokrasi. Dalam prinsip kenegaraannya, Hatta berprinsip bahwa setiap warga negara berhak mengambil bagian untuk membangun negara, oleh karena itu jumlah partai tidak boleh dibatasi. Di sisi lain Soekarno menganggap bahwa jumlah partai harus dibatasi agar mudah dikendalikan. Sementara itu Soekarno yang idealis berupaya untuk mempersatukan semua golongan (NASAKOM) agar meminimalisir perselisihan. Sebaliknya, Hatta beranggapan bahwa mempersatukan faham dan budaya yang berbeda malah akan menghilangkan asas masing-masing.

Akhirnya tiba juga masa ketika pertentangan Dwitunggal ini benar-benar tidak terjembatani lagi. Mimpi Hatta tentang Indonesia yang mendorong kebebasan multipartai, dinaungi oleh demokrasi parlementer, serta menerapkan sistem federalisme (pemerintahan desentralisasi) tidak disukai oleh Soekarno. Dalam kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri Hatta membuka peluang bagi Soekarno untuk mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959) yang diartikan oleh Hatta sebagai bentuk kediktatoran dan penyelewengan terhadap demokrasi. Kekecewaannya terhadap keputusan Soekarno ini dia tuliskan dalam buku "Demokrasi Kita" yang akhirnya dilarang beredar oleh Presiden Soekarno. Polemik antar Dwitunggal ini juga berdampak pada terjadinya pemberontakan lokal di sulawesi dan sumatera (PRRI dan PERMESTA).

Setelah Turun dari Panggung Politik (1957-1980)

Selepas mundur dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956, jangan dibayangkan Bung Hatta menikmati masa pensiun dengan bergelimang harta dari kiprah politiknya yang cemerlang, udah gitu dapat uang pensiun yang besar, bersenang-senang menikmati masa tua dengan main golf atau bersantai di kapal pesiar. Mantan wakil presiden pertama indonesia itu harus harus berjuang susah payah untuk membayar tagihan listrik rumah di jalan Diponegoro 57. Selain keteteran membayar listrik, gas, dan air, Bung Hatta bahkan tidak mampu melunasi pajak mobil dan tagihan biaya telepon di kediamannya di Megamendung. Sebagai pensiunan, Bung Hatta hanya mendapatkan Rp 1.000 sebulan, sebuah nilai yang sangat sedikit. Mengingat pasca mundurnya Bung Hatta, perekonomian Indonesia hancur dan harga-harga melambung tinggi hingga puluhan kali lipat.

Tapi terlepas dari kondisi perekonomian itu, mungkin penyebab utama kesulitan ekonomi Hatta di masa pensiunnya adalah karena dia adalah sosok yang terlalu jujur dan tidak pernah berupaya memperkaya diri dalam kekuasaan politiknya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Hatta memerintahkan sekretaris pribadinya utk mengembalikan dana taktis sebagai wapres sejumlah Rp 25.000 padahal secara normatif itu tidak perlu dilakukan.

Di samping itu, sebetulnya ada banyak perusahaan asing yang menawari dirinya menjadi komisaris utama, tapi semuanya ditolak, apa alasannya?

“Apa kata rakyat nanti?”

Sedikit banyak keputusan Hatta untuk mundur sebagai wapres adalah bentuk protes kepada banyak kebijakan Bung Karno yang ia nilai merugikan masyakarat. Dalam perspektif itu, Hatta khawatir rakyat akan berpikiran buruk dan menuduh dia mundur dari jabatan wapres untuk kepentingan bisnis dan bukan murni sebagai lambang dedikasinya pada rakyat.

Dalam masa transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, Bung Hatta pernah dipercaya oleh Presiden Soeharto menjadi pengawas korupsi di pejabat negara dan militer beserta AH Nasution. Karena mungkin akhirnya terlalu banyak pihak yang ketahuan korupsi oleh Bung Hatta, dkk. Hasil laporan tersebut tidak pernah dikemukakan pada publik.

Drs Mohammad Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno. Baru pada 7 November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .

****

Itulah sepenggal kisah tentang Bung Hatta. Moga-moga kehidupan dan perjuangan beliau bisa menjadi sumber inspirasi bagi lo semua. Bagi gua pribadi, Bung Hatta adalah sosok teladan yang paling unik. Bayangkan saja, seorang nerd, kutu buku kelas berat, yang hidupnya sangat disiplin, introvert parah, kuper, tokoh besar yang paling males untuk menjadi pusat perhatian... ternyata sosok semacam itulah yang berhasil mengejar impian yang mungkin dianggap paling sinting oleh kebanyakan orang di masa itu: Memerdekakan Hindia Belanda menjadi sebuah negara baru yang diakui dunia internasional, bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat ulang tahun, Bapak Koperasi Bangsa Indonesia, Mohammad Hatta! Semoga semakin banyak anak muda Indonesia yang tahu, bahwa engkau bukan 'hanya sekedar' pendamping Bung Karno

Sumber : https://www.zenius.net/blog/8595/biografi-mohammad-hatta

Share this

Nama saya Ivqon, tepatnya Ivqonnada Al Mufarrih. Udah gitu doank.

Related Posts

Previous
Next Post »