Sukarno : Kehidupan & Perjuangan Sang Pendiri Bangsa

Oke guys, dari judulnya aja lo pasti udah bisa nebak apa isi artikel ini. Yak, setelah sebelumnya zenius blog pernah nulis biografi singkat dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Kartini. Tepat hari ini tanggal 6 Juni 2016, sebagai bentuk peringatan kelahiran Bapak Bangsa kita, zenius blog mempersembahkan tulisan biografi singkat dari Ir. Sukarno, seorang pejuang revolusi, salah seorang pendiri negara kita, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Siapa sih warga negara Indonesia yang ga tau nama Sukarno? Namanya begitu melekat di setiap hati dan pikiran orang Indonesia. Jutaan orang mengidolakannya, menjadikan dirinya sebagai figur negarawan ideal, bahkan kata-katanya seringkali dianggap sebagai refleksi dari karakter Bangsa Indonesia yang seharusnya. Bagi sebagian orang, Sukarno seolah-olah adalah personifikasi dari negara Indonesia itu sendiri.

Namun demikian, kadang gua penasaran... berapa banyak sih dari orang-orang yang ngakunya mengidolakan Sukarno itu, memang betul-betul tau tentang proses perjuangan dia dalam mendirikan negara Indonesia? Sejauh mana sih orang Indonesia yang ngakunya cinta NKRI, memang betul-betul memahami gagasan, ide, serta pemikiran dari Bapak Bangsa kita ini?

Nah, dalam artikel blog kali ini, gua mendapat kehormatan untuk menulis biografi singkat dari Bapak Bangsa kita. Walaupun di luar tulisan ini sudah banyak yang mengupas sisi kehidupan Sukarno, tapi kebanyakan malah bercerita tentang gossip kehidupan pribadinya. Nah, khusus untuk artikel kali ini, gua akan fokus mengupas PROSES PERJUANGAN Sukarno dalam memerdekakan serta pokok pemikirannya tentang Negara Republik Indonesia. Selamat membaca!

Chapter 1: Masa Kecil-Remaja Sukarno (1901-1921)

Sukarno terlahir dengan nama Kusno pada 6 Juni 1901 di Surabaya dari seorang ibu keturunan bangsawan Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai dan ayahnya adalah keturunan Sultan Kediri bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo. Berdasarkan silsilah keluarga, darah pejuang sudah mengalir kental dalam diri Sukarno. Kakek moyang Sukarno dari pihak ibu adalah pejuang dari Kerajaan Singaraja dalam perang Puputan di pantai utara Bali. Sementara dari pihak ayah, mengalir darah patriot dari pahlawan tanah Jawa yaitu Diponegoro. Dari kisah perjuangan kakek-nenek moyang keluarga, hasrat pejuang pembebasan itu diwariskan terus hingga menjadi ambisi yang dalam diri Sukarno muda.

Walaupun lahir dari keturunan bangsawan dari pihak ayah maupun ibu, jangan dikira Sukarno lahir dan tumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Gelar kebangsawanan itu hanyalah tinggal nama karena kebanyakan leluhur Sukarno kalah dalam perjuangan lokal melawan kolonial Belanda. Ayah Sukarno hanyalah guru sekolah rendah di Singaraja, sementara sang ibu adalah gadis Pura yang menjaga kebersihan rumah ibadat itu. Sesudah pindah ke Blitar, Sukarno dibesarkan di tengah keluarga yang bisa gua bilang kebangetan miskinnya! Menurut otobiografi yang ditulis Sukarno dan Cindy Adams, dia tinggal di rumah yang sangat sederhana. Keluarganya bahkan ga punya sendok, garpu, ataupun sepatu. Waktu kecil keluarga Sukarno hanya bisa makan nasi 1x sehari, mereka bahkan gak mampu beli beras, jadi mereka beli padi dan harus numbuk padi sendiri setiap subuh supaya jadi beras. Bapak Bangsa kita ini memulai kehidupannya dari kemelaratan yang tak terbayangkan oleh kita semua.

Walaupun hidup dalam kemiskinan, ayahnya yang seorang guru terus menggembleng Sukarno dengan prinsip-prinsip hidup yang terus dia pegang. Karena itulah, Sukarno muda tumbuh dengan jiwa kepemimpinan, cerdas, cekatan, bawel, penuh semangat, dan sekaligus juga memiliki perasaan yang halus. Karakternya yang seperti itulah yang membuat dirinya bisa bertahan dalam diskriminasi anak-anak Belanda sewaktu belajar di sekolah Rendah Belanda hingga masuk ke Hoogere Burgerschool (HBS) sekolah menengah Belanda. Cerita dikata-katain, diludahin, sampai berantem pukul-pukulan sama anak-anak cowok Belanda, udah jadi makanan sehari-hari bagi Sukarno yang masih remaja.

Singkat cerita, sejak Sukarno masuk kelas HBS Belanda di Surabaya, dia numpang bersama kawan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh nasional sekaligus sang guru Bangsa yaitu Hadji Oemar Said Cokroaminoto (selanjutnya disebut Cokroaminoto). Pada saat itu Cokro adalah ketua Sarekat Islam, sekaligus tokoh politik masyarakat Jawa yang dijuluki Belanda "Raja Jawa tanpa mahkota". Di rumah Cokro yang sangat sederhana ini, Sukarno tinggal dan belajar bersama dengan anak asuh didik Cokro yang lain seperti Kartosoewirjo, Musso, Alimin, Semaoen.

Eh tapi jangan lo bayangin kamar asrama Sukarno itu kayak asrama yang nyaman kayak zaman sekarang ye. Menurut deskripsi langsung dari Otobiografi Sukarno, kamarnya di rumah Cokro itu tidak lebih baik dari kandang ayam! Kamarnya itu gak ada pintu, ga ada jendela, ga ada kasur, ga ada bantal, ga ada lampu. Bener-bener gelap gulita dan satu-satunya penerangan cuma dari lilin pijar. Di dalem kamar itu cuma ada meja dan kursi reyot sama tikar untuk tidur, lengkap bersama sarang-sarang serangga seperti nyamuk, kecoa, kelabang, dan laba-laba. Maknyus bener dah!

Tapi jangan salah lo, justru dari kamar yang kayak kandang ayam itulah, Sukarno menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membaca dan mengejar ilmu pengetahuan. Kalo kebanyakan anak remaja zaman sekarang pada males belajar dan suka bolos ke sekolah, Sukarno umur 15 tahun di 'kandang ayam' yang gelap penuh sarang serangga itu justru hobinya belajar, membaca, dan membedah pemikiran politikus kelas dunia dari ratusan tahun sebelumnya. Dari masih remaja, Sukarno udah katam betul perjuangan politik pembebasan Amerika beserta perjuangan para pendiri Bangsa Amerika seperti Thomas Jefferson, George Washington, Benjamin Franklin, John Adams, dkk.

Sukarno remaja juga tertarik sejarah perjuangan revolusi Perancis, revolusi industri, perjuangan buruh, declaration of independence, perang saudara di AS, sampai revolusi politik di Russia. Gila banget kan?? Seorang remaja umur 15 tahun yang lahir dalam kemelaratan, Sukarno udah gak asing lagi dengan gagasan dan pemikiran tokoh intelektual kelas dunia seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin, Rousseau, Voltaire, Gladstone, Beatrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, dan masih banyak lagi. Coba, dari nama-nama di atas berapa banyak yang lo tahu? Gokilnya lagi, Sukarno mempelajari pemikiran mereka semua dari kamar pengap yang cuma diterangi oleh 1 lilin! Dari kamar yang seperti 'kandang ayam' itulah terlahir bibit-bibit nasionalisme dan gagasan-gagasan pemberontakan Sukarno melawan kolonialisme.

Di masa remaja ini pula, tumbuh jiwa politik Sukarno bersama dengan teman-teman diskusinya. Perkumpulan politik Sukarno yang pertama adalah Tri Koro Darmo dengan tiga tujuan yaitu kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial. Tidak lama kemudian lahir perkumpulan baru dengan aktvitas yang lebih konkrit yaitu Jong Java. Dari perkumpulan inilah, Sukarno dkk memulai pendekatan politiknya dengan pergi ke kampung-kampung untuk melakukan aktivitas kerja sosial, mendirikan sekolah, membantu korban bencana, dll. Pada umur 19 tahun, Sukarno (saat itu masih SMA) udah produktif menulis gila-gilaan sampai 500 artikel di harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima untuk mengobarkan semangat pemberontakan pada masyarakat luas.

10 Juni 1921 Sukarno lulus dari HBS Belanda, lalu menikah dengan puteri dari Cokroaminoto yaitu Utari. Namun demikian pernikahannya dengan Utari (16 tahun) diakui Sukarno hanya sebatas bentuk rasa hormat pada Cokroaminoto yang khawatir akan masa depan anaknya, sehingga hubungan mereka lebih seperti kakak-adik ketimbang seperti suami istri. 1 Juli 1921, Sukarno resmi jadi mahasiswa Technische Hogeschool Bandung (TH Bandung atau THB), yang sekarang namanya berubah jadi Institut Teknologi Bandung. Dia keterima di jurusan waterbowkunde (tata bangunan air), yang dalam perkembangannya dia ternyata lebih minat jadi arsitek bangunan umum.

Setelah kuliah, Sukarno dan Utari ngekos di rumah temennya Cokro, yaitu H. Sanusi yang merupakan tokoh Sarekat Islam. Di tahun kedua masa kuliahnya, Sukarno mulai ngerasa bahwa istrinya masih 'bocah' dan belum bisa menjadi perempuan dewasa untuk menjadi seorang istri pejuang revolusi. Di samping itu, ibu kosnya Inggit Ganarsih, juga punya masalah perkawinan dengan suaminya yaitu H. Sanusi. Singkat kata singkat cerita, Sukarno dan Inggit jatuh cinta, kemudian Sukarno memutuskan untuk bercerai dengan Utari secara baik-baik. Tanpa diduga-duga, ternyata H.Sanusi juga tidak berkebaratan untuk bercerai dengan Inggit dan tidak mempermasalahkan hubungan Inggit dengan Sukarno. Ibu Inggit inilah yang kelak nantinya sangat setia menemani Sukarno di masa-masa awal perjuangannya.

Chapter 2: Awal Pergerakan Memberontak Pada Hindia (1921-1942)

Setelah bercerai dengan Utari dan menikah dengan Ibu Inggit, Sukarno semakin gencar dalam aktivitas politiknya. Sepulang dari kampus, doi sering mampir dulu ke warung nasi madura Madrawi, dari tempat itulah dia semakin kenal dengan tokoh politik lain yang juga doyan melakukan rapat politik di situ. Beberapa tokoh yang menggebrak rasa nasionalisme rakyat yaitu Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker (Setiabudi), yang merupakan pendiri Indische Partij, sebuah perkumpulan radikal dengan cita-cita pemberontakan terhadap Belanda. Sejak saat itu, Sukarno muda semakin terbakar semangatnya untuk tampil di atas panggung.

Salah satu momen yang paling menggemparkan adalah tahun 1922 ketika ada rapat raksasa di lapangan terbuka Bandung, namanya rapat radicale concentratie yang diadakan oleh organisasi kebangsaan partai-partai lokal untuk mengumpulkan petisi demi membela hak-hak pribumi. Sukarno yang saat itu cuma seorang mahasiswa tanggung, mencoba angkat tangan untuk menyampaikan pendapat di depan publik. Pada saat itu, untuk pertama kalinya kemampuan orasi Sukarno membuat ratusan penonton terperangah.

Gak tanggung-tanggung, Sukarno muda (21 tahun) secara terang-terangan menantang Belanda (tepat di depan batang hidung para polisi Belanda), dia secara tegas menolak cara-cara pengumpulan petisi, dan mengusulkan gerakan non-kooperatif total terhadap pemerintahan Hindia. Itu adalah moment yg luar biasa menggemparkan, saat itu juga rapat langsung dibubarkan polisi Belanda, dan hari itu juga nama Sukarno seorang pemuda nekat menjadi pembicaraan di seluruh kota Bandung.

Akibat peristiwa itu, Sukarno dapat peringatan serius oleh rektor TH Bandung waktu itu, Prof. Jan Klopper, yang secara khusus memanggil Sukarno ke kantornya buat ngingetin bahwa sebaiknya Sukarno jangan bikin ulah aneh-aneh, dan lebih baik fokus sama studinya yang sebentar lagi harus selesai. Karena rasa hormat pada sang professor, Sukarno manut walau setengah hati. Dia akhirnya konsen sama studi dan berhasil mempertahankan tesisnya dan lulus tahun 1926. Pada saat itu, Sukarno yang awalnya lahir dari kemelaratan, dengan ketekunan yang luar biasa, beliau berhasil menjadi insinyur ke tiga dari kalangan Bumiputera, se-Hindia Belanda. GOKIL!

Lulus sebagai insinyur, Sukarno baru merasakan kebebasan berekspresi dalam politik. Hal itu ditandai dengan sikapnya untuk ga mau ngerjain proyek-proyek pembangunan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Sukarno lebih sering bikin proyek bangunan rumah sederhana bersama kawan seangkatannya Ir. Anwari. Uniknya, setiap rumah yang dibangun sama Sukarno dan Anwari, dikasih “tanda tangan” berupa Gada Rujakpala di atas genteng, senjatanya Bima - salah satu tokoh wayang kesukaan Sukarno. Satu-satunya proyek arsitek besar yang pernah dibangun Sukarno adalah Hotel Preanger Bandung atas permintaan khusus dari Prof. Wolff Schoemaker, dosen kesayangan Sukarno.

Pembentukan PNI dan Indonesia Menggugat

Setelah beberapa kali Sukarno berkarya dalam dunia arsitek, pada akhirnya dia kembali pada ambisi terpendamnya sejak dulu, yaitu dunia politik dan pembebasan Hindia dari Belanda. Sampai pada akhirnya, Sukarno dan teman-teman diskusi politiknya di Bandung mendirikan Algemeene Studie Club (ASC). Di samping itu, rupa-rupanya gerakan politik dari tokoh nasionalis lain pun sedang bergejolak, di antaranya para lulusan perguruan tinggi di Belanda yang mendirikan Indische Vereniging (IV). Dari sisi lain Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Tan Malaka, Alimin, dan Munawar Muso juga melancarkan gerakan pemberontakan pada November 1926, namun sayangnya gagal karena rencana yang kurang matang. Sampai pada akhirnya, Sukarno dari ASC dan teman-teman dari IV bersepakat mendirikan partai baru bernama Perhimpunan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.

Di sisi lain, kegagalan pemberontakan PKI kepada pemerintahan Belanda yang sempat didukung rakyat luas membuat para petinggi partainya ditangkep dan dibuang ke Boven Digoel. Ketika rakyat semakin pesimis dan mendambakan wadah perjuangan baru, PNI inilah yang akhirnya menjadi wadah perjuangan baur bagi rakyat, dan Sukarno sebagai tokoh PNI paling vokal, mulai mendapat banyak pendukung setia di tanah Jawa.

Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai Nasional Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan slogan “Indonesia Siap Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang didukung rakyat. Terlebih, hasil kongres tersebut sangat bernuansa pemberontakan :

  1. Program politik untuk mencapai Indonesia merdeka
  2. Program ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional
  3. Menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI

Makin ketar-ketirlah pihak kolonial Belanda dengan ulah Sukarno, dkk di PNI. Gubernur Jenderal de Graeff yang waktu itu baru aja ngejabat jelas ga mau kehilangan muka kalah sama pendahulunya Dirk Fock yang telah berhasil menumpas pemberontakan PKI. Akhirnya de Graeff merintahin surat penangkapan buat para petinggi PNI seperti Sukarno, Gatot Mangkuprojo, dan Markun Sumodiredjo.

Ditangkap dan diasingkan

Malem tanggal 29 Maret 1929, di tengah-tengah orasi di Yogyakarta, Sukarno dan para petinggi PNI ditangkap dan dibawa ke Penjara Banceuy Bandung untuk nunggu pengadilan. Singkat kata singkat cerita, Sukarno pas disidang akhirnya ngeluarin pidato pembelaan yang dia kasih judul “Indonesia Menggugat” (IM). Naskah IM ini, walopun dia susun pas di rumah tahanan Banceuy yang pengap dan bau pesing, isinya luar biasa lho. Ga kurang dari 60 tokoh sedunia dia kutip dalam pidatonya itu. Mulai dari Karl Marx, Dr. Sun Yat Sen, Mustafa Kamil (tokoh nasionalis Mesir), Henk Sneevliet (pendiri Partai Komunis Belanda dan Indonesia), sampe Dr. Snouck Hurgronje, antropolog kenamaan Belanda, dia kutip untuk mendukung pembelaan diri dan bangsanya melawan pemerintahan kolonial. Dari situ Belanda kaget banget dengan kapasitas intelektual seorang insinyur muda dari kepulauan timur jauh di Asia Tenggara karena bisa memiliki pengetahuan tentang politik dunia sampai seluas itu. Kendati memberikan pembelaan, hakim tetap memutuskan Sukarno bersalah dan kembali ditahan di penjara Sukamiskin.

Kisah hidup Sukarno setelah itu kebanyakan dalam penjara atau pembuangan. Sesaat sebelum de Graeff diganti oleh Gubernur Jenderal de Jonge, dia membebas beberapa tahanan politik termasuk Sukarno. Sukarno akhirnya sempat aktif lagi di politik walau cuma sesaat dengan bergabung ke Partindo, sementara perjuangan dalam PNI dilanjutkan oleh Hatta dan Sjahrir. Namun jangan lo bayangin Sukarno itu kompak dengan kubu Hatta dan Sjahrir pada waktu itu. Justru pada awal perjuangan, Sukarno terlibat saling kritik dan cela-celaan di media lokal dengan Hatta dan Sjahrir. Karena makin bandel dan ga kapok-kapok, Sukarno akhirnya ditangkep (lagi) oleh Gubjend de Jonge dan langsung diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Sementara Hatta, Sjahrir, dkk ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok (1934), kemudian dibuang lagi ke Boven Digul Papua pada Januari 1935.

Itulah nasib perjuangan dan pengorbanan Bapak-Bapak Bangsa Indonesia, belasan tahun diburu polisi, ditangkap, penjara dan dibuang kesana-kemari. Tapi semangat mereka tetap menyala demi cita-cita sinting mereka untuk memerdekakan Hindia dan membuat negara baru bernama Indonesia. Tahun demi tahun berlalu di pembuangan, harapan itu muncul ketika Jepang mulai menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1942.

Chapter 3: Kependudukan Jepang & Kemerdekaan Indonesia (1942 - 1945)

Pada awal tahun 1942,terjadi peristiwa yang tidak diduga-duga, militer Jepang masuk ke wilayah Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda. Persenjataan militer Belanda ternyata ga ada apa-apanya dibandingkan kekuatan Nippon, Belanda yang udah ratusan tahun menduduki Hindia, bisa dipukul mundur oleh Jepang hanya dalam hitungan hari! Maret 1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet banget. Supaya dapet simpatik masyarakat, Jepang langsung ngebebasin para tokoh pemberontak dan pahlawan rakyat seperti Hatta, Sjahrir, termasuk Bung Karno.

Sukarno sekarang udah berumur 41 tahun, untuk pertama kalinya dia ngeliat adanya harapan pembebasan negerinya dari kekuasaan Eropa. Menurut Sukarno, penyerangan Jepang inilah yang bisa membuka celah untuk membebaskan Indonesia. Di sisi lain, Jepang juga ingin memanfaatkan tenaga kerja dari Bumiputera untuk bisa membantu mereka dalam perang melawan sekutu. Walaupun kepentingan antar kedua belah pihak ini seolah-olah sejalan, tapi masing-masing tetap menaruh curiga satu sama lain. Gerak-gerik Jepang sangat ga jelas maunya apa. Awalnya sih terkesan mau nolong rakyat lepas dari jajahan Eropa, tapi ya namanya mereka ini yang punya kekuatan militer superpower, kita bisa apa kalo ujung-ujungnya mereka mau ngejajah kita?

Dibawalah Sukarno ke Batavia (waktu itu baru aja namanya diganti menjadi Jakarta Tokubetsu-Shi), dan akhirnya untuk kali pertama dalam idupnya ketemuan langsung sama yang namanya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pertemuan ini bisa dibilang moment yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun 1931, tiga tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya. Dari hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah. Di sisi lain, Sjahrir nolak usulan itu dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara non-kooperatif dengan membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput.

Nah, dimulailah duet maut Sukarno dan Hatta pada saat itu. Mereka memulai berdiskusi dengan Mayjen Harada agar Nusantara bukan jadi status koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang secara setuju karena emang lagi kepepet perang, dia mengangkat empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara) jadi pimpinan Pusat Tenaga untuk mempengaruhi masyarakat berperang melawan sekutu.

Serpak terjang Sukarno dalam kurun waktu pendudukan Dai Nippon di Indonesia adalah titik sejarah yang dilematis dan sangat kontroversial. Di satu sisi, Sukarno jadi "orang kepercayaan" Jepang, dijadikan pemimpin Pusat Tenaga Rakyat buat ngebantu ngelancarin propagada Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia. Sukarno tetep percaya bahwa langkah-langkah kolaborasi ini merupakan satu-satunya langkah dalam menempuh kemerdekaan Indonesia. Langkah ini menimbulkan korban yang luar biasa banyaknya, terutama pada penduduk Pulau Jawa dan Sumatera. Lebih dari satu juta orang mati karena kelaparan gara-gara hasil pangan diambil untuk bekal tentara Jepang. Selain itu, proyek-proyek pembangunan massal dan cepat juga nimbulin banyak banget korban jiwa. Sukarno sangat menyesali andilnya dalam romusha ini, tapi dia juga berpikir bahwa hal ini sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang dengan membantu mereka berperang adalah perdebatan moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah "langkah yang paling taktis" agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri tanpa perlu berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya bahkan mampu memukul mundur Belanda hanya dalam hitungan hari. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan Malaka, bahkan juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk melawan Jepang secara terang-terangan.

Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan pasifik melawan sekutu pada awal 1945. Puncaknya ketika Bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Sukarno, dan para pejuang revolusi kita mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk menjadi negara mandiri yang merdeka.

Chapter 4: Peran Sukarno dalam Proses Pembentukan Negara (1945 - 1950)

17 Agustus 1945, NKRI secara sepihak menjadi negara yang merdeka. Sukarno membacakan teks proklamasi dalam kondisi ga tidur selama empat hari dan sedang demam tinggi 40°C karena terserang malaria. Lega campur gundah tetep nyelimutin perasaannya. Dalam kondisi yang belum 100% pulih dari demam, esok hari setelah proklamasi berangkatlah dia ke Gedung Raad van Indie, tempat dulu Volksraad berkantor. Di gedung itu lagi ngumpul para pendiri-pendiri bangsa yang sedang Rapat PPKI. Hasil rapat pada hari itu memutuskan bahwa Sukarno diangkat jadi presiden Republik Indonesia & Bung Hatta menjadi wapres.

Dengan perasaan campur aduk antara senang, bangga, sekaligus khawatir mengemban tugas yang berat tersebut. Sebenernya, ada tiga hal yang harus dikerjain oleh Sukarno selaku Presiden RI. Pertama adalah fungsi eksekutif sebagai presiden. Dari mulai milih menteri dan departemen, serta membentuk struktur wewenang yang konkrit dan jelas. Tugas kedua, menyiarkan berita kemerdekaan lewat siaran-siaran colongan dari pemancar berita Pemerintahan Jepang (jaman dulu belum ada twitter bok!). Tugas yang ketiga adalah melucuti senjata dari pihak tentara Jepang yang masih ketinggalan di Indonesia dan belum pulang kampung. Ini paling penting nih yang ketiga, karena Sukarno sudah memprediksikan, ga nyampe sebulan lagi pasti pasukan Sekutu bakal nyampe ke Indonesia. Kebayang kalo pasukan Sekutu yang begitu canggih terus kita ga punya senjata yang memadai. Bisa gagal merdeka nih!

Konsentrasi dalam hal ini pun dilakukan. Republik harus bertahan. Tapi pake apa? Tentara kah? Milisi? Apa ga bahaya kalo bentuk ketentaraan? Apa nanti ga langsung diahajar Jepang yang masih belum mengakui kemerdekaan. Biar udah gak terlalu banyak, tentara Jepang masih banyak yang bertugas buat ngejagain teritori Indonesia loh. Akhirnya tanggal 23 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bentuk dari BKR ini bukanlah ketentaraan, tapi hanya sekadar organisasi masyarakat untuk menampung para prajurit mantan PETA, Heiho, dan KNIL. Lumayan lah, dari nama wadahnya ga terlalu bikin Jepang curiga. Tapi di sisi lain, kita jadi punya organisasi pertahanan militer walau berlabel "ormas".

Senjata siap, manpower siap. Satu lagi yang harus dilakuin sama para petinggi bangsa ini. Gimana caranya seluruh dunia tau dan ngedukung perjuangan Indonesia untuk tetap merdeka. Secara teori sih sesuai Perjanjian Postdam, wilayah hasil invasi Jepang harus dikembaliin ke negara “pemilik” masing-masing. Nah, masalahnya pemilik Indonesia ini siapa? Jangan-jangan yang dimaksud itu Belanda yang udah menduduki kita selama 300 tahun. Bisa gawat nih! Nah, tugas berat untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa Republik Indonesia adalah pemilik resmi rakyat Nusantara berada dalam pundak 2 pendiri bangsa kita yang lain, yaitu Sutan Sjahrir & Mohammad Hatta. Kalo lo mau lebih tau lebih detail gimana cerdiknya Sjahrir & Hatta dalam mendapatkan pengakuan internasional, gua sarankan baca artikel biografi Sjahrir & Mohammad Hatta di blog zenius.

Hari-hari ke depan yang ga menentu buat Republik Indonesia. Urusan keamanan dan pertahanan dia serahin ke para perwira dan prajurit yang pada waktu itu belom layak disebut tentara. Kolonel Sudirman dipercaya untuk menjadi panglima TKR yang baru aja dibentuk yang gantiin panglima aslinya, Supriyadi. Para milisi non-tentara dihimpun oleh Tan Malaka untuk bisa bantuin tentara buat berjuang melawan agresi sekutu. Urusan diplomasi dipegang Sjahrir & Hatta, urusan perang & bentrokan militer dipegang Sudirman dan Malaka. Sukarno ngapain? Nah, ini nih yang jaraaang banget infonya. Apa sih peran Sukarno selama masa Revolusi?

Kalo mau dibilang lebay sih, Sukarno itu nyawanya Revolusi. Figur Indonesia yang dibawa Sukarno adalah arah perjuangan rakyat saat itu. Dalam arti lebay, Indonesia bisa dianggap ada jika dan hanya jika Sukarno tetap hidup. Berkali-kali tentara Inggris nyoba buat nangkep Sukarno, selalu gagal. Berkali-kali pula tentara NICA nyoba bunuh Sukarno, selalu gagal juga. Jadi tugas Sukarno selain melakukan tugas eksekutifnya, dia juga harus bertahan hidup dan kabur-kaburan dari entah berapa banyak percobaan pembunuhan. Dengan tetap hidup, Sukarno akan tetap menjadi "figur" yang mewakili terbentuknya NKRI & diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain ternyata ga cuma pihak asing yang ngerepotin Sukarno, orang kita sendiri pun kadang-kadang ngeribetin Sukarno buat hal-hal yang sebenernya kurang penting-penting amat untuk diladenin sama Sukarno. Jatah beras mogok dari Bekasi, Sukarno yang nyamperin. Ada sekelompok pemuda yang ngeblokade rel kereta, Sukarno pula yang ngademin mereka. Selidik punya selidik, hal-hal konyol semacam itu ternyata emang kadang dibikin-bikin karena rakyat saking penasarannya dengan sosok Sukarno dan pengen didatengin dan melihat langsung sosok Sukarno. Intinya, Sukarno merasa bahwa dirinya harus hadir di tengah-tengah masyarakat gimana pun kondisinya.

Sukarno harus mimpin sebuah negara yang sedang diserbu oleh sekutu dan sisa-sisa tentara Jepang masih menghantui. Negara baru yang bener-bener belum punya apa-apa. Duit ga ada, militer seadanya, kebutuhan pokok pas-pasan, perdagangan ke luar diblokade Belanda, kacau deh! Ujung-ujungnya apa yang dilakukan? Nyelundupin barang! Menteri Kemakmuran waktu itu, Dr. Adnan Kapau Gani akhirnya bertugas menyelundupkan barang agar nafas ekonomi negara kita berhembus di bawah tekanan perang. Segala macem diselundupin dari mulai timah, beras, hasil perkebunan, dsb untuk dituker sama persenjataan dan emas sebagai alat transaksi universal. Sukarno benar-benar ngurusin negara yang masih bayi, ga punya apa-apa, tapi punya segudang harapan dan potensi. Digaji ga dia waktu itu? Sama sekali nggak.

Di bawah Sjahrir atas arahan Sukarno, Indonesia berhasil mencapai kata sepakat sama Negeri Belanda pada Perundingan Linggarjati tahun 1947. Baru deh Sukarno agak lega, karena walaupun rugi bandar secara teritorial, Republik ini bisa napas. Untuk sejenak, ga ada lagi pertempuran yang sifatnya bunuh-bunuhan. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1949 giliran Bung Hatta yang memberi kemenangan telak atas Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, dengan memenangkan teritori kedaulatan Indonesia dari Sabang sampai NTT & Maluku (Timor-Timur dan Irian Barat menyusul). Kalau bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia bentuknya ga akan seluas seperti yang kita kenal sekarang.

 

Chapter 5 : Demokrasi Liberal (1950 - 1959)

Usai sudah masa Revolusi yang penuh dengan pertumpahan darah dan intrik-intrik baik dari kalangan eksternal maupun internal (konflik PKI Madiun, berdirinya Negara Islam Indonesia, dsb). Saatnya Indonesia bisa berfungsi layaknya negara merdeka pada umumnya. Saat itu, negara kita ini udah terlanjur memiliki bentuk federasi sesuai dengan isi KMB. Sukarno dan Hatta, memutuskan untuk segera ngubah bentuk negara menjadi negara kesatuan seperti yang dicita-citain waktu Proklamasi. Tugas pertama Sukarno sebagai presiden RIS adalah bikin RIS jadi NKRI.

Seabis ganti bentuk negara dan ganti undang-undang dari Konstitusi RIS ke UUDS 1950, Sukarno memutuskan bahwa sekaranglah saatnya dia berperan sebagai “duta” Indonesia untuk seluruh dunia dan mengenalkan negara baru ini ke hadarapan para pemimpin dunia. Sementara untuk urusan dalam negeri, Sukarno cuma mau tiga masalah diselesaikan oleh para Perdana Menteri:

  1. Irian Barat direbut kembali.
  2. Pemilihan Umum.
  3. Menjaga keutuhan NKRI.

Nah, mulailah rencana Sukarno dalam memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Hal pertama yang dia lakukan adalah merencanakan sebuah pertemuan akbar di Bandung bersama dengan PM Ali Sastroamijoyo. Yes, pertemuan itu bernama Konferensi Asia Afrika (KAA). Dengan pidato yang ciamik untuk mempersatukan kerjasama antar negara-negara di Asia dan Afrika, Sukarno menggoyang panggung KAA dan mengenalkan nama negara kita pada negara-negara di Asia dan Afrik. Sekali tepuk dua benua, boss!

Keberhasilan Ali dan Sukarno di KAA bikin nama Indonesia makin nyata di kancah internasional. KAA dianggap oleh bangsa-bangsa dunia ke tiga sebagai wujud dari perlawanan atas penjajahan dan kolonialisme. Perlawanan sekeren itu Indonesia yang bikin coy! Status ini dipake sama Sukarno untuk muncul ke tengah-tengah panggung dunia sebagai tokoh yang sangat anti penjajahan dan menjunjung tinggi kenetralan. Baik Eisenhower & Kennedy (dua presiden Amrik) maupun Nikita Khrushchev (pemimpin Uni Soviet) menaruh perhatian besar kepada sosok Sukarno. Di mata dunia, Sukarno menjadi sosok pemimpin yang betul-betul netral dalam perang dingin, tidak memihak (non-blok), namun secara tegas menolak penjajahan dan kolonialisme. Itulah kenapa, Sukarno bisa akrab dengan banyak pemimpin dunia dari berbagai macam latar belakang ideologi.

Usai sudah KAA, Pemilu pun digelar. Hasilnya justru membuat Sukarno kecewa. Bukannya pesta demokrasi yang makin tercipta, malah musuh politik jadi makin banyak. PNI, Masyumi, NU, PSI, saling melakukan serangan politik satu sama lain. Para pejabat yang harusnya mikirin kesejahteraan rakyat, malah main kubu-kubuan, sindir-sindirian satu sama lain. Di sisi lain, PKI justru berhasil menarik simpati rakyat sebagai organisasi awal yang mengimpun massa dalam revolusi melawan Belanda maupun agresi militer pasca kemerdekaan.

Selain itu, situasi keamanan negara juga makin ga jelas. Banyak perwira-perwira yang udah keliatan bakal mau protes bahkan merencanakan pemberontakan. Ada Kolonel Alex Kawilarang dan Letkol Vantje Sumual dari Sulawesi, ada Kolonel Maludin Simbolon dari Sumatera Utara, dan Kapten Kahar Muzakkar sudah menyatakan diri bergabung dengan Negara Islam Indonesia bentukan SM Kartosuwiryo, temen sekamar Sukarno waktu remaja saat tinggal di rumah Pak Cokroaminoto. Ironis banget temen seperjuangan Sukarno dari remaja saat melawan kolonial, sekarang malah jadi pemimpin pemberontak NKRI. Di saat itu, keutuhan NKRI mulai terancam, bukan lagi dari pihak luar, tapi justru dari internal saudara sebangsa kita sendiri.

Pendapat parlemen hasil pemilu waktu itu mengusulkan Hatta yang bisa ngatasin semua ini dan selayaknya dia jadi Perdana Menteri. Eh, Bung Hatta malah memutuskan untuk mengundurin diri dari posisi Wapres dan ga mau ikut-ikutan lagi dalam percaturan politik RI. Di satu sisi memang pasal UUDS 1950 ga memperbolehkan Wapres jadi PM, di sisi lain belakangan emang Bung Hatta makin ga cocok sama Bung Karno dalam visi politiknya. Enough is enough, tugas gue untuk bikin negara ini merdeka 100% udah selesai dengan kesuksesan di KMB, sekarang gua ga mau ikut-ikutan politik kotor ini, begitu mungkin menurut kata hati Hatta yang integritasnya ga ada yang nandingin sepanjang sejarah Indonesia.

Sendirian, Sukarno akhirnya dapat dukungan dari TNI yang juga setuju kalo perpecahan internal di kalangan politik dan pemberontakan internal ini ga bisa dibiarkan lebih lama lagi. Dengan dukungan penuh dari Jenderal Nasution yang waktu itu dipercaya lagi sebagai Panglima TNI, jatuhlah Dekrit Presiden 1959. Kekuasaan kembali jatuh ke tangan presiden.

"Ga ada lagi sistem multipartai yang malah bikin ribet dan memupuk konflik internal begini, biarin aja gua dibilang diktator sama Hatta! Kalo partai-partai itu terus berseteru, bisa-bisa perang saudara gara-gara mereka pada haus kekuasaan!"

Begitulah kurang lebih pendapat Sukarno terhadap sistem Demokrasi Liberal. Sejak saat itulah, lahir yang namanya demokrasi terpimpin.

Chapter 6 : Demokrasi Terpimpin - Lengser dari Pemerintahan (1950 - 1966)

Sebenernya, apa sih yang dimaksud sama Demokrasi Terpimpin a la Sukarno? Sukarno sih ngakunya konsep ini udah dia pikirin sejak tahun 1928, dan menurut dia, konsep demokrasi yang seperti ini lah yang paling cocok dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia, secara sosiologis menurut dia, adalah bangsa yang membutuhkan figur “Bapak” dalam keluarga tempat segala keputusan ditentukan dan diimplementasikan oleh anggota keluarga yang lain, seperti halnya bangsa-bangsa dengan adat ketimuran lainnya.

Supaya ada yang mengevaluasi dan mencegah dirinya gak jadi diktator, diangkatlah tiga orang yang dikasih jabatan Deputi Perdana Menteri: Subandrio, Dr. Leimena, dan Khairul Saleh. Lebih lanjut, buat nyegah terjadinya kesewenang-wenangan pada fungsi eksekutif, dibentuklah MPRS dan DPR Gotong Royong, yang terdiri dari wakil-wakil partai, angkatan bersenjata, tokoh-tokoh terkemuka dari setiap daerah, dll. Ditambah lagi, beberapa orang ahli yang dapat memberikan masukan dan saran terhadap jalannya pemerintahan yang digabungin dalam satu badan khusus yang disebut Dewan Pertimbangan Agung. Baru kali inilah, Sukarno bisa dibilang betul-betul berkuasa secara eksekutif, baru sekarang ini juga terbentuk sistem negara impian Sukarno sejak masa mudanya.

Terus, apa sih yang dihadapin sama pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin? Ada banyak hal, salah satunya adalah protes keras dari banyak pihak intelektual yang mengkritik keputusan Dekrit & terciptanya Demokrasi Terpimpin. Dari namanya saja, bentuk pemerintahan ini dinilai menghianati makna demokrasi yang sesungguhnya dan membuka pintu bagi kediktatoran dengan kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu sosok, yaitu Sukarno. Kritik terhadap Sukarno ini dilakukan bukan hanya oleh tokoh mahasiswa seperti Soe Hok Gie, tapi juga para kawan-kawan seperjuangannya seperti Moh Hatta, Sjahrir, dan juga Natsir.

Tapi di antara semua masalah itu, hal yang paling bikin gemes sih, masalah perebutan Irian Barat yang gak beres-beres udah belasan taun. Akhirnya, Sukarno memercayakan isu-isu keamanan dan teritorial ini kepada 3 ksatria yang paling dia andalkan. Secara umum, masalah pertahanan ini dia percayakan pada Jenderal Abdul Harris Nasution. Untuk ngurus pemberontak macem Negara Islam Indonesia dan PRRI-Permesta, dia percayain kepada perwira kesayangannya yang jago banget meredam pemberontakan yaitu Mayor Jenderal Ahmad Yani. Untuk masalah Irian Barat dia percayain ahli strategi lapangan yang sangat berpengalaman dari sejak agresi militer Belanda sekaligus komandan pasukan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Jenderal Suharto.

Dari ketiga ksatria ini, Ahmad Yani adalah anak emas kesayangan Sukarno. Bahkan berdasarkan desas-desus yang berkembang di kalangan petinggi militer maupun sipil, Sukarno sedang mempertimbangkan Yani sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Tapi di sisi lain, ada juga tokoh kuat yang punya pendukung paling banyak di masa Demokrasi Terpimpin, yaitu Ahmad Aidit yang waktu itu lebih dikenal dengan nama D.N. Aidit, Ketua Comite Central PKI. Aidit juga sangat dekat dengan Sukarno dan disebut-sebut juga sebagai calon kuat pengganti Sukarno karena memiliki dukungan luas, terutama dari kalangan petani dan buruh. Permainan Tahta pun dimulai.

Ketegangan politik pada era Demokrasi Terpimpin akhirnya pecah dalam 1 peristiwa yang sangat luar biasa. Yak, mungkin lo udah bisa nebak bahwa peristiwa itu adalah gerakan 30 september 1965 dimana terjadi pembunuhan yang paling misterius dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Tujuh perwira tinggi yang menjadi target upaya pembunuhan, 6 jendral terbunuh termasuk Ahmad Yani, sementara 1 jendral yang selamat adalah AH. Nasution. Peristiwa ini kemudian menjadi titik tonggak perubahan transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Sukarno.

Peristiwa 30 September ini bisa dibilang sebagai catatan sejarah Indonesia yang paling kelam, paling misterius, paling kontroversial, dan sangat sensitif untuk dibahas terutama pada masa pemerintahaan Orde Baru. Peristiwa ini begitu mempengaruhi nasib jutaan masyarakat Indonesia, dari mulai peralihan transisi kekuasaan, posisi kebijakan luar negeri Indonesia, serta penangkapan dan pembunuhan masal selama puluhan tahun. Peristiwa ini begitu kompleks hingga memunculkan berbagai macam versi sejarah, dimana secara detail udah pernah gua & Glenn bahas secara mendalam pada artikel Dinamika Catatan Sejarah Gerakan 30 September 1965. Buat lo yang penasaran tentang berbagai macam versi sejarahnya, bisa coba baca artikel itu setelah beres baca artikel ini.

Chapter 7 : Lengser sampai Menutup usia (1966 - 1970)

Setelah peristiwa 30 September 1965, inflasi membumbung tinggi. Harga-harga kebutuhan pokok naik drastis berkali-kali lipat. Terjadi tuding-menuding antar elemen bangsa. Sukarno sendiri gimana? Di tengah kondisi kesehatannya yang memburuk karena serangan stroke, Sukarno pusing sendiri karena balance of power yang dia jaga selama ini untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat, yang dia namain sebagai NASAKOM (+militer), gagal total. Kekuasaan bikin orang-orang jadi saling bunuh, saling serang, saling nyalah-nyalahin, dsb. Keyakinan bahwa bangsa ini akan menjadi cahaya bagi kebebasan umat sedunia dengan Gerakan Non Blok dan sikap anti imperialismenya runtuh bukan karena penjajah, tapi karena ulah kalangan internal rakyat Indonesia sendiri.

Rakyat jelata semakin tercekik dengan krisis ekonomi yang mengerikan, rakyat semakin tidak percaya pada pemerintah. Kekuasaan Sukarno akhirnya bener-bener terancam setelah 26 tahun menjadi figur sentral dalam pembentukan bangsa ini. Di tengah-tengah intrik politik perebutan tahta ini, Sukarno bener-bener dibuat bingung, siapakah orang yang bisa dia percaya, siapakah musuh dalam selimut? Akhirnya di akhir masa kekuasaannya, dia hanya berfokus pada dua hal, yaitu membersihkan namanya dan mencegah adanya pertumpahan darah yang meluas di kalangan rakyat.

Demonstrasi mahasiswa yang makin meluas dan kritik dari para “musuh” politiknya terus gencar sampai pada akhirnya MPRS yang dipimpin oleh Nasution, menjatuhkan mosi tidak percaya terhadap presiden Sukarno dan 3 point utama, yaitu:

  1. Membiarkan G30S terjadi,
  2. Membiarkan ekonomi merosot, dan
  3. menjatuhkan moral bangsa dengan perilaku-perilaku “genit” terhadap perempuan.

Dengan tuntutan dari MPRS ini, Sukarno harus melakukan pembelaan diri terhadap MPR yang ia namakan “Nawaksara”. Ini merupakan langkah terakhir Sukarno untuk mempertahankan Demokrasi Terpimpin sekaligus jabatannya sebagai presiden. Pada akhirnya pembelaan ini ditolak oleh MPRS, bahkan Sukarno dijerat oleh Tap MPRS No. 33/MPR/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Sukarno. Sekaligus menjadi dasar tudingan bahwa Sukarno terlibat dengan gerakan G30S bahkan memberikan keputusan yang melindungi tokoh-tokoh yang diduga kuat mendalangi peristiwa G30S/PKI. Ketetapan itu menjadi sikap MPRS pamungkas untuk menjatuhkan Sukarno dari kekuasaan dengan dugaan pengkhianatan.

Sukarno akhirnya tidak berdaya lagi dengan situasi politik yang sudah terlalu menyudutkan dia. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Sukarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Ga kebanyang gimana perasaan Sukarno yang diberhentikan atas tuduhan mengkhianati negara yang dia perjuangkan dari 40 tahun terakhir. Dari sejak muda menjadi tokoh pemberontak Belanda, dibuang dan dipenjara belasan tahun, akhirnya harus ikut propaganda Jepang yang menelan jutaan nyawa rakyatnya, belum lagi belasan kali percobaan pembunuhan yang terus meneror hidupnya.

Sukarno akhirnya betul-betul sendirian. Ga ada lagi Hatta, Sjahrir, Ali, Natsir, Aidit yang biasa jadi penasehatnya yang dia percaya. Setelah lengser, Sukarno yang kondisi kesehatannya makin parah, dijadiin tahanan rumah dengan penjagaan ketat dan bantuan medis seadanya oleh negara yang dia perjuangkan sejak muda. Sampai pada akhirnya pada 21 Juni 1970 pkl 07.00 pagi Ir. Sukarno meninggal dunia. Walaupun Sukarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis Bogor, namun pemerintahan Presiden Suharto memilih Kota Blitar, sebagai tempat peristirahatan terakhir, sang pendiri negara Indonesia.

****

Demikian persembahan dari gue di ulang tahun Sukarno ke-115. Tentu mustahil rasanya untuk merangkum kehidupan sosok sebesar Bung Karno hanya dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu gua secara pribadi berharap agar pembaca maklum, jika ada banyak kisah sisi kehidupan beliau yang terlewatkan. Untuk itu juga, gua berharap para pembaca (khususnya kaum muda) untuk mencoba secara proaktif menggali dan mengenal lebih dalam sosok Bapak Bangsa kita yang sangat luar biasa ini. Dari seorang pemuda melarat yang tidak punya apa-apa, dan tumbuh di kamar yang seperti kandang ayam, Sukarno terus berjuang dengan mempersembahkan seluruh hidupnya agar kita semua mendapatkan hidup yang merdeka. Selamat ulang tahun Sang Pendiri Bangsa Indonesia, MERDEKA!

 

Referensi

Adams, Cindy. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Bung Karno & penerbit Media Pressindo.
Ir. Sukarno. 1964. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi
Tim Buku Tempo. 2015. Sukarno Paradoks Revolus Indonesia. Jakarta: KPG.
Sumber: https://www.zenius.net/blog/12208/biografi-sukarno-soekarno

Share this

Nama saya Ivqon, tepatnya Ivqonnada Al Mufarrih. Udah gitu doank.

Related Posts

Previous
Next Post »