Halo semua, pada artikel blog zenius kali ini, lagi-lagi gue mau bahas topik sejarah. Buat lo yang belum tau, hari ini tanggal 5 Maret, tepat 107 tahun yang lalu telah lahir salah satu Bapak pendiri bangsa kita. Bukan Sukarno, bukan juga Hatta, tapi seseorang yang berjuang di garis belakang dengan jalan kaderisasi kaum pergerakan bawah tanah, serta jago banget berdiplomasi agar Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Siapa tuh?
Beliau adalah seorang bertubuh kecil dengan peran yang sangat besar dalam mewujudkan momentum kemerdekaan Indonesia bernama Sutan Sjahrir (baca: Syahrir) atau lebih akrab dipanggil 'Bung Kecil' oleh rekan-rekan seperjuangan.
Nah, dalam artikel ini, gua akan mengulas sosok dari Perdana Menteri pertama Indonesia ini. Buat lo yang ingin mengenal perjuangannya, pastikan lo baca artikel ini sampai habis. Karena di sini gua akan ceritain gimana serunya perjalanan hidup Sjahrir dari keberaniannya untuk ikut hadir dalam peristiwa Sumpah Pemuda ketika masih berumur 18 tahun, perjuangannya menghimpun kekuatan pemuda melalui berbagai gerakan bawah tanah, dari pengasingan hingga penculikannya, serta akhir hidupnya yang tragis karena dipenjara tanpa proses peradilan sampai terkena stroke dan meninggal ketika dirawat di Swiss.
Perlu gua sampaikan juga, bahwa adalah mustahil untuk merangkum sebuah kehidupan seseorang hanya dalam sebuah tulisan. Jadi mohon maklum jika ada banyak kejadian menarik yang terlewatkan pada tulisan "singkat" ini. Walaupun masih banyak kekurangan, moga-moga tulisan ini bisa menjadi inspirasi pembaca, terutama kaum muda untuk lebih mengenal perjuangan serta pemikiran dari Bapak Bangsa Indonesia. Oke deh, kita langsung aja mengulas kehidupan dan perjuangan beliau, dimulai dari masa kecil-remajanya.
Masa Kecil-Remaja (1909-1929)
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang - Hindia Belanda, pada tanggal 5 Maret 1909. Ia merupakan anak seorang Jaksa lokal yang bernama Mohamad Rasad Gelar Maharajo Sutan, dan ibu bernama Puti Siti Rabiah. Ketika Sjahrir berusia empat tahun, ayahnya diangkat oleh Sultan Deli untuk menjadi kepala jaksa sekaligus penasihat di Kesultanan Deli.
Pengangkatan jabatan yang sangat bergengsi ini membuat orangtua memiliki dana yang cukup untuk menyekolahkan Sjahrir di sekolah-sekolah berkualitas di Medan dan Bandung. Di Medan, Sjahrir mengenyam pendidikan di ELS & MULO terbaik di Medan (ELS & MULO itu istilah SD & SMP jaman Belanda). Setelah lulus dari MULO tahun 1926, Sjahrir melanjutkan sekolahnya ke AMS paling bergengsi di Bandung (AMS istilah SMA zaman Belanda).
Punya kesempatan besekolah di tempat bergengsi dengan kondisi finansial orangtua yang berkecukupan gak bikin Sjahrir takabur, tapi justru dia pertanggungjawabkan dengan optimal. Selama bersekolah, Sjahrir dianggap bintang kelas yang sangat cerdas, rajin baca buku filsafat, dan sangat aktif dalam berbagai macam kegiatan. Dari mulai klub teater, bermain musik biola, sampai ikut club sepak bola di Bandung.
Saat sebagian anak-anak muda Indonesia jaman sekarang males-malesan sekolah, Sjahrir remaja malah MENDIRIKAN SEKOLAH untuk kaum miskin di Bandung pada umur 18 tahun! Sekolah rakyat ini dia kasih nama Tjahja Volksuniversiteit atau dalam bahasa Melayu berarti “Universitas Rakyat Cahaya”. Di lembaga pendidikan ini, entah berapa banyak anak-anak kurang mampu di Bandung yang diajari membaca dan menghitung secara gratis.
Serpak terjang Sjahrir remaja gak cuma dalam bidang sosial aja, bersama temen-temennya, Sjahrir mendirikan sebuah klub diskusi politik untuk para pemuda di Bandung, yang dinamakan Patriae Scientiaeque. Kegiatannya di klub diskusi itu membawa takdir pertemuan dengan sosok aktivis lain dari klub debat tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpinan seorang mahasiswa Bandung Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno (alias Ir.Sukarno).
Sampai akhirnya, Sukarno (26 tahun) bersama teman-temannya di klub diskusi mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Dalam partai itu, Sjahrir (18 tahun) dipercaya untuk mengurus organisasi pemuda PNI yang awalnya disebut Jong Indonesien, lalu berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Bentuk kepercayaan yang diberikan pada Sjahrir ini ia manfaatkan untuk membuat momentum bersejarah bersama dengan Jong Indonesien pada tahun 1928, dengan mewujudkan Kongres Pemuda Indonesia II yang menghasilkan semangat perjuangan baru, bernama Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Sekarang lo bayangin sosok seperti apa Sjahrir ketika remaja? Udah mah juara kelas, doyan baca buku, punya jiwa seni, pandai main biola, suka olahraga, rajin diskusi politik, mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin, hingga ikut mewujudkan momentum pemberontakan yang sangat bersejarah bagi bangsa kita, yaitu Sumpah Pemuda. Semua itu dia lakukan ketika beliau belum genap berumur 19 tahun! Emang sakti abis nih sang (calon) Bapak Bangsa kita!
Masa Studi di Belanda & Perjuangan Awal (1929-1935)
Setelah lulus dari AMS tahun 1929, Sjahrir melanjutkan kuliah di Eropa, tepatnya di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. Tidak lama banget setelah keberangkatan dirinya ke Amsterdam, pemimpin Hindia Belanda waktu itu Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff, ngeluarin perintah buat nangkepin pemimpin-pemimpin PNI termasuk Sukarno, Gatot Mangkupradja, dkk di tanah Hindia Belanda. Nyaris banget Sjahrir ikut ditangkep, untung keburu kabur kuliah!
Pada masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi yang diikutin sama Sjahrir ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal Demokratische Arbeiderspartij - SDAP). Pada klub inilah, Sjahrir untuk pertama kalinya membedah secara mendalam gagasan-gagasan politik kelas dunia yang sedang bergelora saat itu, seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya. Mendapatkan kesempatan pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran Sjahrir menjadi terbuka dari berbagai macam gagasan serta situasi politik internasional yang sedang terjadi.
Sampai pada akhirnya, karena masalah keuangan keluarga, Sjahrir terpaksa harus pindah dan tinggal di rumah ketua klub SDAP sekaligus sahabatnya, Salomon Tas. Sejak saat itu Sjahrir pindah kuliah ke Universiteit Leiden dan mulai belajar mandiri dan bekerja di sebuah perusahaan transportasi. Pengalaman pertamanya bekerja itu, membuat Sjahrir betul-betul merasakan ketidakadilan bagi kaum pekerja. Pengalamannya bekerja serta aktivitasnya di serikat buruh inilah yang membuat pemikiran Sjahrir semakin terarah pada gagasan sosialis demokratis yang mengusung kesetaraan dan keadilan.
Sementara itu, pergerakan awal untuk membebaskan Hindia Belanda sudah dimulai oleh para senior Sjahrir, tepatnya oleh gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam yang saat itu diketuai oleh Mohammad Hatta. Singkat kata, Bung Hatta yang saat itu lagi ribet oleh berbagai macam hal, memerlukan sosok pendamping. Berita tentang seorang pemuda berbakat yang bernama Sjahrir membuat Hatta memanggilnya untuk membantu pergerakan dari Perhimpunan Indonesia sebagai sekretaris.
Sejak saat itulah, duet maut 2 (calon) Bapak Bangsa Indonesia yang berbeda umur cukup jauh ini dipertemukan dan mulai beradu gagasan kenegaraan demi cita-cita gila mereka untuk memerdekakan Indonesia. Namun demikian, duet maut ini sempat mengalami kendala karena konflik internal dalam PI, dimana sebagian besar anggotanya menginginkan perjuangan kemerdekaan dari arah ideologi komunis, sementara Sjahrir dan Hatta lebih cenderung ke arah sosialis & nasionalis. Akhirnya Hatta dan Sjahrir pun dikeluarin dari keanggotaan PI.
Sementara itu, keadaan perjuangan di tanah air juga sedang terhambat. Terutama pasca penangkapan Soekarno tahun 1929 oleh de Graeff, pergerakan kemerdekaan yang tadinya dimotori oleh PNI semakin ciut. Terlebih lagi, pecahan PNI yang membentuk partai baru bernama Partindo malah bersikap cenderung kooperatif terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Ketika pergerakan kemerdekaan Indonesia hampir padam sepenuhnya, Hatta & Sjahrir segera membentuk surat kabar yang dinamakan Daulat Ra’jat untuk terus menyuarakan suara pemberontakan pada Hindia Belanda untuk membakar semangat pemberontakan.
Selain aktif menulis di surat kabar, Hatta dan Sjahrir yang gemas dengan gerakan lapangan akhirnya memutuskan untuk membentuk kembali PNI-Baru tahun 1931. Berbeda dengan PNI-Lama bentukan Sukarno yang bersifat menggalang massa secara serabutan, PNI-Baru ini lebih bersifat ke kaderisasi yang mengutamakan pendidikan bertahap bagi para anggotanya untuk menjadi aktivis pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kalo Sukarno fokus pada kuantitas, Sjahrir & Hatta fokus pada kualitas. Nah, pada titik inilah Sjahrir & Hatta kembali menegaskan bentuk perjuangan mereka bahwa cita-cita mereka bukan sekedar mendapat kedudukan setara dengan Kerajaan Belanda sebagai anggota persemakmuran, tapi untuk menjadikan Indonesia negara yang merdeka sepenuhnya.
Memulai pergerakan PNI-baru di Hindia (1931-1934)
Pada tahun 1931, Sjahrir memutuskan untuk sementara meninggalkan studinya dan kembali ke Jakarta untuk terjun langsung dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan tokoh-tokoh dan aktivis nasional. Sementara Hatta masih di Belanda karena kagok ingin menuntaskan gelar doctorandus yang tinggal sebentar lagi selesai.
Sesampainya di Batavia (nama Jakarta dulu), yang ada di kepala Sjahrir cuma satu hal, yaitu gimana caranya ngerekrut pemuda-pemuda potensial untuk ikut gerakan kemerdekaan (baca=gerakan pemberontakan) melawan Hindia Belanda. Tentu ini bukan hal mudah untuk mengajak para kaum muda untuk memberontak, tapi kepiawan dan pengalaman Sjahrir sewaktu aktif di serikat pekerja Belanda sangat membantu dalam membentuk jaringan underground pemberontakan sampai-sampai tidak terdeteksi (setidaknya sampai 1934) oleh polisi Hindia-Belanda.
Kaderisasi kaum muda semakin gencar terutama ketika Sjahrir didaulat menjadi ketua umum PNI-baru pada kongres PNI-Baru Yogjakarta 1932. Gagasan yang menginspirasi Sjahrir dalam mendidik kaum muda bermuara pada ide-ide Karl Marx yang mengusung kesejahteraan sosial, kesetaraan, serta kemandirian ekonomi. Peristiwa ini dinilai cukup unik dalam sejarah, ketika biasanya ide sosialisme ditanamkan di kalangan proletariat dan kaum buruh. Di tanah Hindia, gagasan ini malah diusung oleh kaum terpelajar dan kalangan menengah atas. Akibatnya, gerakan ini berjalan jadi jauh lebih cerdas dan terukur serta tidak mudah goyah oleh isu-isu propaganda. Hal ini membuat Belanda semakin kewalahan dalam meredam aktivitas gerakan Sjahrir, dkk.
Tahun 1933, Hatta kembali ke tanah Hindia dengan menyandang gelar dokterandus. Kedatangan Hatta disambut baik kalangan aktivis Hindia sekaligus membuat Sjahrir menyerahkan kepemimpinan PNI-Baru ke seniornya tersebut. Sementara itu, Sukarno yang sudah dibebaskan dari penjara Sukamiskin juga terus berjuang melalui 'kendaraan' lain, yaitu Partindo. Pada saat itu, Sukarno & Partindo yang fokus pada penggalangan massa secara kuantitatif mengklaim memiliki pengikut lebih dari 20,000 orang, sedangkan PNI-Baru yang fokus pada kaderisasi dan anggota yang terdidik, baru memiliki 1,000 anggota.
Gub Jend, de Graeff yang pensiun tahun 1931 diganti oleh Bonifacius Cornelis de Jonge. Baru aja ngejabat, Jonkheer de Jonge ini langsung pusing menghadapi pergerakan para aktivis kemerdekaan yang semakin terkoordinir dan memiliki basis massa. Akhirnya De Jonge mau gak mau harus kerja extra untuk memata-matai serta menangkapi orang-orang yang terbukti terlibat dalam gerakan pemberontakan. Salah satu tokoh yang ditangkep pertama adalah Sukarno (lagi) tahun 1933. Khawatir dengan basis masa fans Sukarno yang banyaknya udah kelewatan di Pulau Jawa, Sukarno dibuang jauh-jauh ke Ende, Flores. Februari 1934, giliran duet maut Sjahrir & Hatta yang diciduk.
Hatta ditahan di Penjara Glodok, Batavia, sedangkan Sjahrir dijeblosin di Penjara Cipinang, Meester Cornelis. Awalnya, sel tempat Sjahrir ditahan cukup lumayan lah buat ukuran penjara. Tapi dalem hati Sjahrir tau gak lama juga dia bakal senasib sama Sukarno, bakal dibuang di tempat gak jelas! Ternyata bener dugaan dia, Desember 1934 Sjahrir, Hatta, dan banyak aktivis lain seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dkk dibuang ke Boven Digoel, di pelosok paling pelosok dari Pulau Papua.
Di Pembuangan Digoel & Banda Neira (1935-1942)
Nyampe di Digoel, Sjahrir bengong karena harus bikin rumah sendiri dengan nebang kayu dari hutan lebat Papua. Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang bener-bener gak ada apa-apa. Kalaupun ada sedikit penduduk lokal, tetap kalah banyak jumlahnya dengan nyamuk malaria dan buaya-buaya kelaparan di sepanjang rawa dan sungai.
Berbeda dengan Hatta yang introvert, pendiam, dan bisa dengan mudah larut berjam-jam hanya dengan membaca buku. Sjahrir yang pembawaannya lebih extrovert, bersemangat, spontan... merasa kesepian di tanah pengasingan. Di tanah buangan tanpa ada rumah sakit, sekolah, dan kepastian akan masa depan. Sjahrir banyak menghabiskan waktu untuk menulis surat pada istrinya Maria Duchateau di Belanda, yang sudah lama tidak ia temui.
Mungkin karena rindu istri, kesepian, dan stress gak bisa berkarya lebih banyak di pengasingan, kondisi psikologis Sjahrir mengalami demoralisasi. Doi jadi sering banget nyelonong ke rumah-rumah Hatta, dr Tjipto, dkk pas tengah malem dengan beralasan mau minta gula, garem, pokoknya ada-ada aja deh..! Padahal sebetulnya kemungkinan Sjahrir cuma lagi kesepian pengen ditemenin ngobrol. Menurut jurnalis senior Bang Rosihan Anwar, kalo Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir, Hatta bilang "Ah si Sjahrir lagi terganggu pikirannya dan jadi agak sinting!" hehehe...
2 Januari 1936, penderitaan Sjahrir, Hatta, dkk jadi agak mendingan karena dipindahin ke Banda Neira, Maluku. Di tempat inilah akhirnya Sjahrir menemukan kedamaian tinggal di daerah terpencil dengan di kelilingi penduduk lokal yang bersahabat (bukan nyamuk malaria dan buaya lagi). Di Banda Neira, Sjahrir yang extrovert dan bersemangat menyalurkan energinya untuk main sama anak-anak dan mengajar penduduk lokal. Saking deketnya dia sama anak-anak di daerah itu, tiga di antaranya dia angkat sebagai anak.
Sjahrir, Hatta menanti pembebasan selama 5 tahun di Banda Neira, sampai Jepang menyerang Pearl Harbour (Desember 1941), Kepulauan Pasifik, dan Malaya. Dalam ekspansi wilayah itu, Pulau Ambon juga kena kepungan oleh Jepang. Untung belum terlambat, pemerintahan Hindia memutuskan memindahkan Sjahrir dan tahanan-tahanan lain ke Pulau Jawa sampai akhirnya Jepang betul-betul menguasai Nusantara, dan membebaskan semua tawanan politik Hindia Belanda.
Penguasaan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)
Maret 1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet banget. Untuk memudahkan Jepang mendapat dukungan rakyat setempat, para tokoh pemberontak seperti Hatta, Sjahrir, dkk dibebasin gitu aja sama tentara-tentara Jepang. Menyusul bulan Juli 1942, Bung Karno juga dibebaskan dari pengasingan di Bengkulu. Setibanya di Jakarta, Sukarno memutuskan untuk bertemu dengan Hatta dan Sjahrir di rumahnya Hatta. Pertemuan ini bisa dibilang moment yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun 1931, tiga tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya.
Dari hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah. Sementara itu, Sjahrir menolak bentuk perjuangan yang berkooperasi dengan Jepang dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara underground dengan membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput. Akhirnya Sukarno & Hatta memilih jalan untuk berkooperasi dengan Jepang dengan harapan Indonesia dapat merdeka tanpa perlu membuang nyawa melawan tentara Jepang yang bahkan mampu memukul mundur Belanda hanya dalam beberapa bulan.
Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang seringkali menjadi polemik moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah "langkah yang paling taktis" agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri tanpa perlu berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya sangat mengerikan. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan Malaka, bahkan juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk melawan Jepang secara terang-terangan. Puncaknya adalah ketika Jepang memberlakukan romusha (1942-1945) bagi 4-10 juta penduduk lokal untuk membangun basis militer, terowongan, dan pengangkutan bahan pangan bagi Jepang.
Menjelang pertengahan 1945, Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan pasifik melawan sekutu. Berdasarkan analisa Sjahrir, ini adalah saat yang paling tepat untuk menyatakan kemerdekaan, ia lalu mendesak Bung Karno untuk segera menyatakan kemerdekaan. Akan tetapi, Sukarno yang udah kepalang basah kerja sama dengan Jepang, memilih untuk berkonsultasi sama Jepang dulu biar ga terjadi pertumpahan darah. Hal ini membuat Sjahrir kecewa dan semakin gemas mendesak tokoh-tokoh besar lain untuk berani menyatakan kemerdekaan, termasuk Bung Hatta & Tan Malaka, tapi semuanya belum berani secara terang-terangan melangkahi kekuasaan Jepang.
Hari-hari menjelang kemerdekaan...
Setelah Bom Atom sekutu menghancurkan Hiroshima & Nagasaki (7 & 9 Agustus 1945), analisa Sjahrir sejak berbulan-bulan lalu tentang kekalahan telak Jepang semakin menjadi kenyataan. Lobby demi lobby dia terus mendesak Sukarno & Hatta untuk terus mendeklarasikan proklamasi, tapi "nanti-nanti" terus jawabannya. Sampai hari yang dijanjikan Sukarno akhirnya tiba (15 Agustus 1945) itulah yang sejatinya tanggal proklamasi yang direncanakan. Tapi karena kondisi keamanan yang sangat tidak kondusif mengingat Jepang baru aja sehari nyerah sama Sekutu, Sukarno lagi-lagi menunda kemerdekaan. Di sisi lain, Sjahrir yang udah mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa untuk datang ke Jakarta, lagi-lagi jengkel dengan Sukarno.
Para pemuda pengikut Sjahrir ikutan jengkel karena pembatalan ini, dan mendesak Sjahrir untuk langsung mengumumkan kemerdekaan! Walaupun jengkel dengan Sukarno, Sjahrir menolak untuk menyatakan kemerdekaan, karena menurut dia Sukarno tetap orang yang paling layak untuk melakukannya, terutama karena basis pendukungnya yang sangat banyak dan kharismanya yang selangit. Sjahrir tetap bersabar, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan sendiri.
Puncak ketegangan ini memuncak ketika kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dkk) menculik Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok. Ketika dengar berita bahwa Dwitunggal beneran diculik oleh pemuda, Sjahrir kaget setengah mati! Bayangin aja, di detik-detik yang menentukan kemerdekaan, sekelompok remaja tanggung berdarah panas malah nyulik tokoh sentral Indonesia!! Menurut gosipnya sih, saking marahnya Sjahrir, salah satu geng pemuda itu ditabokin sama dia, hehehe...
Akhirnya Sukarno-Hatta dijemput balik sama Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi di rumah Tadashi Maeda, Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, akhirnya peristiwa yang dimimpikan oleh para tokoh awal pergerakan Indonesia sejak tahun 1931 terjadi juga. Indonesia akhirnya menyatakan proklamasi kemerdekaan. Sjahrir, sebagai tokoh arsitek gerakan underground yang selalu bergerak di belakang panggung, memutuskan untuk tidak hadir dalam momentum paling bersejarah itu.
Diplomasi cerdik Bung Kecil untuk mendapat pengakuan Internasional (1945-1949)
Berdasarkan kacamata Indonesia, bangsa ini memang sudah merdeka, tapi masih sangat rapuh. Untuk menjaga status kemerdekaan yang masih bayi ini, Negara Indonesia membutuhkan bentuk sistem pemerintahan yang jelas dan terstruktur. Keesokan harinya Sukarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden - keduanya berperan sebagai lembaga eksekutif. Sementara itu, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian berfungsi sebagai badan legislatif (DPR) agar jadi penyeimbang keberadaan eksekutif. Elemen pemerintah yang krusial ini, dipercayakan kepada Sjahrir untuk menjadi ketua KNIP. Sampai pada akhirnya,14 November 1945 Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama pada umur 36 tahun.
Pasca kemerdekaan, Indonesia memiliki 2 PR besar, yaitu: (1) upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer Belanda maupun daerah-daerah terpencil yang masih dikuasai sisa tentara Jepang. (2) Upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.
Lagi-lagi, terdapat perselisihan cara pandang antar para Bapak Bangsa kita. Bagi Tan Malaka dan Sudirman yang berjuang di garis depan, kita tidak perlu lagi berunding dengan pihak luar untuk mencapai kemerdekaan yang utuh. Sementara bagi Hatta dan (terutama) Sjahrir, kemerdekaan yang realistis sesungguhnya hanya bisa dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Setelah berbagai macam drama perselisihan antar 2 kubu Bapak Bangsa kita. Pada akhirnya, Jendral Sudirman & Tan Malaka banyak berperan pada PR pertama untuk meredam agresi militer. Sementara Sjahrir dan Bung Hatta fokus pada misi kedua, mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Dalam upaya menuntaskan misi kedua ini, ada 2 prestasi Sjahrir yang bikin dia dikenang sebagai diplomat ulung yang sangat cerdik membaca situasi dunia internasional. Pertama adalah keputusan cerdiknya untuk memberikan bantuan pada India yang saat itu sedang krisis pangan, dengan mengirim 500,000 ton beras pada 20 Agustus 1946! India yang saat itu masih berada dalam koloni Inggris menyambut baik bantuan itu. Inggris yang memiliki kekuatan politik yang besar di Eropa, mulai menaruh simpatik pada Negara baru "kemarin sore" bernama Indonesia. Dengan sambutan baik Inggris, pada Indonesia. Belanda jadi makin keki.
Jeniusnya lagi, kemungkinan Sjahrir sudah meramalkan India akan segera merdeka dari kolonisasi Inggris dan memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Bener aja, India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus 1947. Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama masih ingat bantuan dari Sjahrir, akhirnya mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan Negara-negara Asia di New Delhi. Di acara ini, jaringan internasional Sjahrir makin berkembang dan akhirnya dia diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia. Inilah kenapa strategi diplomasi Sjahrir seringkali disebut "diplomasi kancil", sekali tepuk 2 lalat coy! Setelah dari India, Sjahrir melanjutkan diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia kepada Indonesia. Makin keki banget deh Belanda!
Prestasi kedua Sjahrir adalah trik jitu Sjahrir mensiasati hasil Perundingan Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik buat nyelesein sengketa wilayah Indonesia. Dengan segala cara Sjahrir mengupayakan agar Belanda mau berunding, termasuk dengan cara ngelobby temen-temen dia pas kuliah dulu yang sekarang udah pada jadi pejabat di Belanda. Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil ngadain Perundingan Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBB kalo-kalo aja nanti ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju-setuju aja karena hasil perjanjiannya nguntungin Belanda banget.
Ujung-ujungnya, pasal tambahan usulan Sjahrir itulah yang nyelametin Indonesia ketika Belanda ngelancarin Agresi Militer I tahun 1947. Berkat adanya pasal ini, Belanda terbukti melanggar perjanjian dan harus menuntaskan persengketaan wilayah ini pada sidang Internasional. Momentum inilah yang membuat seluruh dunia melek bahwa Republik Indonesia sedang ditindas oleh mantan penguasa koloninya. Dunia semakin berpihak pada NKRI. Belanda tersandung keserakahannya sendiri.
Ibarat pemain catur, Sjahrir awalnya memberikan umpan yang kemudian berbalik menjadi serangan balasan yang merontokan pertahanan politik Belanda. Namun pada akhirnya, giliran Bung Hatta yang menjebol pertahanan terakhir Belanda dengan pukulan telak di Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949). Skakmat! Bung Hatta pulang ke tanah air dengan kemenangan penuh, karena telah berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Di sini kita bisa lihat, kalau bukan karena Bung Sjahrir, Indonesia mungkin gak pernah kepikiran untuk maju lewan jalan diplomasi dan perundingan. Kalo bukan karena kecerdikan Sjahrir juga, dukungan dunia internasional tidak akan sederas itu untuk membela Indonesia di KMB.
Perlahan Turun dari Panggung Politik (1950-1966)
Karir diplomasi manis Sjahrir sebagai PM ternyata tidak seharum itu di mata orang-orang di kelompok pejuang, seperti Tan Malaka, Sudirman, dkk. Begitu pula Bung Karno dan Amir Sjarifuddin belakangan banyak berselisih pendapat dengan Sjahrir. Puncaknya ketika Sjahrir dan Bung Karno sering cekcok beradul mulut ketika keduanya disembunyikan ke Brastagi dalam kemelut agresi militer Belanda II. Maka dari itu, setelah era Demokrasi Liberal dimulai (1950), Sjahrir konsentrasi untuk membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk menghadapi pemilihan umum pertama tahun 1955.
Di partai ini ide-ide sosialisme demokrat Sjahrir makin diusung kepada para simpatisannya. Kalo lo mau tau ide-ide sosialis Sjahrir yang dia tawarkan dalam PSI ini, lo tinggal lihat aja sistem pemerintahan di Jerman, Perancis, Swedia, Belanda sekarang ini seperti apa. Pada intinya, gagasan pemerintahan Sjahrir 66 tahun yang lalu adalah konsep yang dilakukan Eropa modern sekarang ini.
Pemilu 1955 pun berjalan. Ide Sjahrir ini kurang dapet banyak tanggapan dari rakyat waktu itu. Sejak saat itu, karir politik Sjahrir terus merosot dan betul-betul menghilang. Pada 7 Januari 1962, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno saat melewati jalan Cendrawasih (Makassar), seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset, Presiden Sukarno selamat.
Dalam peristiwa itu, Sjahrir dituduh mendalangi percobaan pembunuhan itu. Presiden Sukarno yang saat itu lagi pusing banget menghadapi banyak pemberontakan dalam negeri, agak gelap mata. Sukarno langsung menjadikan Sjahrir sebagai tersangka tanpa proses pengadilan, dan menempatkan Sjahrir sebagai tahanan di Madiun, lalu di Kebayoran baru-Jakarta.
Walaupun selama di tahanan Sjahrir diperlakukan cukup baik, tapi keadaan fisiknya terus menurun. Sampai akhirnya, Sutan Sjahrir terkena serangan 2x stroke hingga membuat Sjahrir tidak mampu berbicara dan agak lumpuh tangan kanannya. Akhirnya, Sukarno memperbolehkan Sjahrir mendapatkan perawatan di luar negeri, asalkan bukan di Belanda. Keluarga Sjahrir memilih Zurich-Swiss, sebagai tempat pengobatannya.
Bulan Juli 1965, Sjahrir beserta keluarganya terbang ke Zurich. Momen itu pula lah yang menjadi momen terakhir Sjahrir melihat tanah air yang ia perjuangkan sepenuh jiwa-raga. Di momen ini, kaki Sjahrir terangkat terakhir kali untuk selamanya dari Indonesia. Tidak lama setelah peristiwa Supersemar, tepatnya 9 April 1966, Sutan Sjahrir meninggal dunia pada umur 57 tahun di Swiss. Hatta terlihat sangat depresi karena ditinggal sahabatnya tersebut. Sampai hari pemakaman, Hatta masih sangat kecewa dengan keputusan Sukarno yang memenjarakan Sjahrir tanpa proses peradilan. Triumvirat Kemerdekaan Indonesia akhirnya resmi bubar.
Selama 5 hari setelah Sjahrir meninggal, Indonesia berkabung total. Beberapa bulan sebelumnya, ternyata Presiden Sukarno telah mempersiapkan Keppres nomor 76 tahun 1966 untuk menjadikan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional sekaligus permintaan agar Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Setelah tiba di Jakarta, jenazah Sjahrir diantar oleh ratusan ribu orang ke pemakamannya. Bayangin, rombongan paling depan udah nyampe Kalibata, rombongan paling belakang baru sampe Bundaran Hotel Indonesia.
****
Itulah sepenggal kisah tentang Bung Kecil yang keberanian hidupnya yang besar. Moga-moga kehidupan dan perjuangan beliau bisa menjadi sumber inspirasi bagi lo semua. Selamat ulang tahun, Bapak Bangsa Indonesia. Semoga semakin banyak anak muda Indonesia yang mengenal, memahami, serta terinspirasi dari karya kehidupanmu. Merdeka!
Referensi:
Mrazek, R; Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia; Southeast Asia Program Publications Cornell University; 1994
Rose, M; Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta; Equinox Publishing, 2010
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa; Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil; 2012, KPG
Sjahrir, Soetan "Indonesische overpeinzingen" (Publisher: Bezige Bij, Amsterdam, 1945)
Anwar, Rosihan (2010) Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan
Anwar, Rosihan.2010.Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Sumber : https://www.zenius.net/blog/11441/biografi-sutan-syahrir